
FRAKSI RAKYAT Pembahasan tentang penobatan Presiden kedua RI Soeharto sebagai pahlawan nasional tetap menjadi topik kontroversial di masyarakat. Sejumlah orang berpendapat bahwa ide tersebut sama saja dengan mengungkit kembali luka masa lalu yang belum sepenuhnya sembuh.
Ahli hukum dari Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Satria Unggul Wicaksana mengatakan bahwa presiden yang memegang kekuasaan selama lebih dari tiga puluh tahun tersebut pantasnya tak menerima penghargaan sebagai pahlawann nasional. Catatan buruk terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) serta kasus-kasus korupsinya dalam masa Orde Baru patut dipertimbangkan serius. "Berdasarkan riwayatnya, sungguh sangat tidak tepat jika orang tersebut disematkan gelar pahlawan," ujarnya saat wawancara di Surabaya, pada hari Selasa (3 Juni).
Dia mengingatkan pemerintah untuk meninjau sejumlah insiden tragis, termasuk Tragedi Talangsari dan Pelaksanaan Pembunuhan Terencana (Petrus), serta tindak kekerasan oleh negara terhadap warga sipil selama masa jabatan Soeharto. Riwayat membuktikan bahwa jutaan jiwa hilang akibat aturan kerasnya Orde Baru. Dia bersemangat dengan mengatakan, “Terdapat Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal/IPT) yang telah menjalani perkara pelanggaran hak asasi manusia pada zaman Soeharto ini tak dapat dilupakan!”
Satria menyoroti dominasi keluarga Cendana dalam bisnis era Orde Baru. Menurut dia, hal itu turut memperparah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sepanjang kekuasaan Soeharto."Meski ada pencapaian, seperti kemandirian pangan, masalah korupsi dan beban utang menjadi faktor utama runtuhnya ekonomi pada 1998. Ini juga menjadi bagian dari pertimbangan ketidaklayakan," tuturnya.
Satria berharap agar Kementerian Sosial serta Majelis di Istana dapat mendengarkan aspirasi dari kalangan masyarakat umum. Lagi-lagi, pemerintah harus ingat bahwa mereka tak bisa menomorduakan prinsip-prinsip reformasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang telah digalakkan sejak tahun 1998.
Di luar Soeharto, terdapat sembilan kandidat lain untuk gelar Pahlawan Nasional 2025 menurut catatan dari Kementerian Sosial. Nama-namanya meliputi Presiden keempat Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid (asal Jawa Timur).
Selanjutnya ada KH Bisri Syansuri dari Jawa Timur, Idrus bin Salim Al-Jufri berasal dari Sulawesi Tengah, Teuku Abdul Hamid Azwar asli dari Aceh, serta Abbas Abdul Jamil yang berasal dari Jawa Barat. Di samping itu terdapat juga Anak Agung Gede Anom Mudita dari Bali, dan Deman Tende dari Sulawesi Barat.
Selanjutnya, terdapat Midian Sirait dari Sumatera Utara serta Yusuf Hasim berasal dari Jawa Timur. Saat ini, tentang apakah mantan mertua Presiden ke-8 Prabowo Subianto itu layak disematkan sebagai pahlawan nasional atau tidak, akan diambil keputusan dalam rapat tersebut. tim ad hoc Kemensos yang direncanakan pada awal Juni ini. (*)