
FRAKSI RAKYAT , Jakarta - KPK mengatur jadwal penyelidikan untuk M. Luthflil Chakim yang berperan sebagai Sekretaris Dewan Komisaris di PT Hutama Karya Periode dari tahun 2018 sampai 2019 akan berlangsung pada hari Senin, tanggal 3 Juni 2025.
"Pemeriksaan berlangsung di gedung bertajuk Merah Putih milik KPK," ujar Budi Prasetyo, Spokesperson untuk KPK.
M. Luthflil Chakim dicek sebagai saksi dalam perkara suap terkait pengadaan tanah yang berlokasi di area tersebut. Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) Periode Anggaran 2018 hingga 2020. Dalam hal ini, KPK sudah mengadakan pencarian di kantor utama PT Hutama Karya beserta entitasnya, yakni PT Hutama Karya Realtindo (HKR).
Baca: Megaproyek yang Mencekik BUMN
Sebelumnya, KPK sudah mengambil alih 65 hektar lahan yang terletak di Kecamatan Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan. "KPK menjalankan rangkaian investigasi dengan cara menyerahkan total 65 plot tanah ke pemerintah, lokasinya ada di Kalianda, Lampung Selatan," jelas Juru Bicara KPK yakni Tessa Mahardhika Sugiarto waktu itu di Kantor Pusat KPK, gedung Merah Putih, Jakarta Selatan, pada hari Rabu, tanggal 30 April 2025.
Dia menyebut penahanan 65 hektar tanah tersebut sebagai hasil investigasi timnya. Lembaga antirasuah ini melaksanakan operasi itu dari tanggal 14 sampai 15 April 2025 guna menanganis perkara dugaan suap terkait pengadaan tanah di area Sekitar Jalur Bebas Hambatan Trans Sumatera.
"Dia menjelaskan bahwa dari 65 area yang disebutkan itu, sebagian besar adalah tanah milik para petani," katanya.
Dalam pemeriksaan sebelumnya, Tessa menyebutkan bahwa penyidik telah memverifikasi ulang tentang transaksi jual beli lahan di daerah Kalianda (Lampung Selatan), yang dilaksanakan oleh beberapa petani untuk perusahaan bernama PT STJ. Kemudian, properti tersebut dikonversikan menjadi milik dari PT STJ dan kemudiannya dipindahkan ke tangan PT. Hutama Karya .
Tessa menambahkan pula bahwa petugas dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita beberapa lahan tersebut lantaran hanya sekitar 10 hingga 20 persen saja yang telah diselesaikan pembayarannya oleh PT STJ, meskipun dokumen-dokumen properti sudah diamanahkan pada notaris. Dia menjelaskan lebih lanjut, "Dokumen-dokumen itu pun kini ikut diamankan."
Dia menyatakan bahwa penyerangan tanah dan dokumen dilakukan supaya kelak bisa ditentukan oleh hakim apakah akan dikembalikan kepada para petani atau tidak. Ini disebabkan sejauh ini status lahan itu belum pasti lantaran sisanya dari pembayaran tidak terselesaikan oleh PT STJ, sehingga suratnya masih terkunci di notaris dan petani kurang mampu membayar kembali uang mukanya.