RUBLIK DEPOK - Gaya hidup dan tingkat pendapatan merupakan dua aspek utama untuk menggambarkan perubahan sosial di kalangan masyarakat kontemporer. Di bidang sosiologi, gaya hidup bukan sekadar menunjukkan metode yang digunakan oleh orang individual maupun grup dalam memenuhi keperluan sehari-hari, namun juga tentang cara mereka mendefinisikan diri, posisi sosial, serta menjalin koneksi melalui pengeluaran uang, aktivitas kerja, dan berinteraksi dengan data.
Konsumsi, sebagai salah satu pilar utama pola hidup, telah berevolusi dari sekadar pemenuhan kebutuhan fisik menjadi sarana ekspresi identitas sosial, budaya, dan ekonomi. Artikel ini mengulas secara mendalam hubungan antara pola hidup, status ekonomi, pekerjaan, konsumsi, dan arus informasi, dengan mengintegrasikan perspektif teoritis dari sosiologi serta bukti dari sumber ilmiah yang kredibel.
Dengan memahami interaksi ini, kita dapat melihat bagaimana faktor-faktor tersebut membentuk masyarakat kontemporer dan tantangan yang dihadapi dalam menghadapi konsumerisme, ketimpangan sosial, dan pengaruh media.
Konsep dan Pendekatan Teoritis
Dari sudut pandang sosiologi, konsumsi tidak hanya terbatas pada tindakan untuk melengkapi keperluan biologis seperti makanan, pakaian, atau rumah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Pierre Bourdieu (1984), konsumsi merupakan elemen integral dalam hal ini. habitus —kumpulan disposisi yang dibentuk oleh pengalaman sosial dan budaya, yang mengarahkan individu untuk memilih barang atau jasa tertentu sebagai cerminan identitas dan kelas sosial mereka. Misalnya, memilih untuk membeli mobil mewah atau pakaian desainer bukan hanya tentang fungsi, tetapi juga tentang menegaskan status sosial dan membedakan diri dari kelompok lain. Bourdieu memperkenalkan konsep cultural capital , hal ini mengindikasikan bahwa pengetahuan, preferensi, serta cara hidup tertentu bisa memperkuat status sosial seseorang dalam lingkungan masyarakat.
Max Weber (1978) menyajikan perspektif tambahan dengan membuat pembedaaan antara kelas ekonomi dan grup status. Kelas ekonomi dipengaruhi oleh kepemilikan sumber daya materiel, termasuk harta, penghasilan, atau properti. Di lain sisi, grup status dibangun atas dasar hubungan subyektif seperti pola hidup, nilai-nilai umum, serta perilaku yang sama-sama diterima. Menurut Weber, walaupun kelas ekonomi menciptakan fondasi materiel, status biasanya ditentukan oleh bagaimana individu atau kelompok memperlihatkan dirinya lewat pemakaian barang-barang dan gaya hidup. Pada akhirnya, status seseorang cenderung menjadi kombinasi dari kontrol finansial, kedudukan dalam hierarki reputasi (seperti pekerjaan atau karier), serta kesempatan mendapatkan pengetahuan. Misalkan saja seorang profesional di pusat perkotaan bisa jadi akan pakai pakaian merek-merek mahal dan kunjungi rumah makan eksklusif demi membuktikan tingkatannya itu, padahal gaji mereka belum tentu sesuai dengan standar gaya hidup demikian.
Selain itu, teori symbolic interactionism menggariskan cara di mana seseorang mengunakan tanda-tanda seperti produk konsumen untuk bertukar pesan dengan pihak lain serta menciptakan jati diri mereka (Blumer, 1969). Sebagai contoh, seorang pemuda yang memboyong sepatu bermerek tertentu mungkin melakukan hal tersebut agar terasa disematkan ke dalam lingkar pertemanannya, ini tunjukan bahwa penggunaan barang juga punya unsur psikologi dan sosial yang signifikan.
Pengaruh Ekonomi pada Cara Hidup Masyarakat
Pertumbuhan ekonomi, terlebih lewat proses industrialisasi, perkotaan, serta globalisasi, telah merombak cara hidup orang-orang dengan sangat signifikan. Sebagaimana dikemukakan oleh Thorstein Veblen pada tahun 1899 dalam teorinya tentang konsumsi masyarakat, hal ini merupakan bukti nyata perubahan tersebut. conspicuous consumption , individu atau kelompok sering kali mengkonsumsi barang atau jasa secara berlebihan untuk memamerkan kekayaan dan status sosial mereka. Contohnya, pembelian tas tangan mewah atau mobil sport tidak hanya untuk keperluan praktis, tetapi juga untuk menunjukkan bahwa seseorang mampu membelinya, sehingga meningkatkan prestise sosial mereka. Fenomena ini semakin terlihat di era globalisasi, di mana merek-merek internasional menjadi simbol status di berbagai belahan dunia.
Peningkatan dalam bidang ekonomi turut menghasilkan peningkatan ragam serta tingkat kesulitan akan berbagai kebutuhan manusia. Di masa pertanian, seseorang hanya butuh hal-hal esensial semacam pakaian dan makanan saja. Namun dengan masuknya zaman industrial dan postindustrial ini membawa persyaratan-persyaratan tambahan yaitu teknologi, hiburan, dan aspek-aspek lifestyle lainnya. Sebagaimana dicatat oleh laporan World Bank tahun 2020, migrasi besar-besaran menuju perkotaan telah melancarkan kemudahan bagi publik untuk mendapatkan produk-produk atau layanan-layanan pembelian langsung kepada konsumen tersebut, sehingga menciptakannya suatu transformasi pada bagaimana pengeluaran uang dilakukan secara umum, lebih-lebih lagi di golongan sedang dari negara-negara yang masih tumbuh itu.
Karakteristik Pekerjaan
Tipe pekerjaan yang paling banyak dijumpai dalam sebuah komunitas secara signifikan berdampak pada cara hidup orang perorangan serta grup-grup tersebut. Menurut pertumbuhan ekonomi, profesi ini biasanya dibagi ke dalam tiga jenis pokok:
-
Agraris Pekerjaan dalam bidang agraria, misalnya bertani atau beternak, dikenali oleh rutinitas kerja yang tetap dan sangat dipengaruhi oleh ritme alami. Kehidupan orang-orang agrarian biasanya cukup sederhana, hanya memenuhi keperluan pokok sehari-hari serta dekat dengan lingkungan setempat. Sebagai contoh, para petani desa di Indonesia umumnya menggunakan hasil tanaman mereka sendiri untuk dikonsumsi dan menjaga gaya hidup hemat.
-
Industri : Pekerjaan di sektor industri, seperti manufaktur atau konstruksi, menekankan efisiensi dan produksi massal. Pekerja industri sering kali memiliki jadwal kerja yang terstruktur dan tinggal di daerah perkotaan, yang mendorong pola konsumsi yang lebih beragam, seperti pembelian barang elektronik atau pakaian jadi.
-
Jasa/Service Sektor jasa, yang meliputi bidang seperti perbankan, Teknologi Informasi, ataupun pariwisata, berpusat pada pengadaan layanan, kemudahan, atau gambaran positif. Karyawan dalam sektor ini cenderung mempunyai pola hidup yang lebih banyak fokus pada konsumsi, hal tersebut disebabkan oleh gaji yang relatif tinggi serta eksposur mereka terhadap perkembangan dunia secara luas. Sebagai contoh, seseorang bekerja di industri Teknologi Informasi di Jakarta bisa saja menggunakan seluruh pendapatannya untuk mendapatkan alat elektronik paling baru atau merencanakan liburan ke lokasi wisata mancanegara.
Perbedaan tersebut menggambarkan cara struktur ekonomi menentukan gaya hidup masyarakat. Berdasar penelitian yang dilakukan oleh Organisasi Internasional Tenaga Kerja (OIT, 2021), pergeseran dari perekonomian berbasis pertanian menuju perekonomian layanan di beberapa negara telah mendongkrak perkotaan dan konsumsi, namun pada saat bersamaan hal itu juga memperlebar kesenjangan sosial antara karyawan sektor formal dengan mereka yang bekerja di sektor tidak formal.
Pengaruh Karier terhadap Tingkat Kesejahteraan Sosial serta Gaya Hidup
Pekerjaan bukan saja berpengaruh pada pemasukan finansial, melainkan juga terhadap derajat sosial serta cara hidup individu. Perbedaan jenis pekerjaan antara kalangan urban dan rural menghasilkan perbandingan yang cukup tegas. Di daerah perkotaan, beberapa bidang kerja biasanya disematkan dengan prestige tinggi, misalnya sebagai dokter, advokat, atau manajer korporasi, hal ini membuka peluang untuk meraih gaya hidup mewah. Sementara itu, di desa-desa, profesisi sepeti pertanian atau pembuat barang-barang tradisional cenderung dilihat kurang bergengsi walaupun mereka punya posisi vital bagi lingkungan tempat mereka bernaung.
Menurut Solvay Gerke (2000), kelompok kelas menengah, terlebih lagi bagian yang lebih rendah dari lapisan tersebut di negara-negara sedang berkembang, biasanya akan memilih untuk mengonsumsi produk berstatus simbolis guna meyakinkan posisi sosial mereka. Sebagai contoh di tanah air kita yaitu Indonesia, anggota kelas menengah baru kerapkali merogoh kocek demi mendapatkan telepon seluler cerdas dan pakaian dengan merek ternama agar dapat membuktikan bahwa mereka sudah 'meraih kesempurnaan', walaupun penghasilannya belum tentu mencukupi. Kondisi semacam itu umum disebut sebagai symbolic consumption , tempat di mana barang yang dikonsumsi justru mempunyai nilai simbolis yang melebihi nilainya secara fungsi.
Konsumsi turut berperan signifikan dalam mengarahkan emosi seseorang. in-group Menurut Zygmunt Bauman (2007), ciri khas masyarakat modern adalah liquid modernity Di sini, orang-orang secara berkelanjutan mencoba menemukan dirinya sendiri lewat pembelian barang. Sebagai contoh, para pecinta brand spesifik seperti Apple atau Nike cenderung merasa tersambung dengan kelompok lain yang mempunyai minat sama, membentuk perasaan persaudaraan. Akan tetapi, perilaku belanja semacam itu pun bisa mendukung hedonisme, dimana individu lebih fokus pada kesenangan singkat dan status sosial dibandingkan keperluan jangka panjang mereka. Penelitian Schor (1998) mengindikasikan bahwa tekanan untuk menjaga gaya hidup boros biasanya mengakibatkan hutang dalam lingkungan keluarga, terlebih lagi bagi golongan tengah.
Profesi dan kepemilikan pun turut membentuk cara seseorang hidup tanpa disadari. Seseorang yang bekerja sebagai profesional dengan penghasilan tinggi cenderung termotivasi untuk menetap di komunitas eksklusif atau menyimulasikan trend fashion tertentu demi menjaga derajat sosialnya. Di sisi lain, individu yang memiliki gaji rendah bisa jadi terbiasa pada kebiasaan belanja irit, namun masih mencoba mengadaptasi gaya hidup kelompok tengah lewat pembelian produk imitasi merek ternama.
Pengaruh Aliran Informasi pada Kebiasaan Sehari-hari
Pengembangan teknologi informasi, terutama dalam bidang media visual seperti TV, internet, serta jejaring sosial, sudah merombak metode pembentukan kehidupan oleh masyarakat. Seperti dikatakan Marshall McLuhan pada tahun 1964, media merupakan "ekstensi dari diri manusia," bukan sekadar untuk penyampai berita tapi juga menciptakan perspektif dan tindakan. Sebagai contoh, siaran televisi cenderung membuat penonton menjadi pihak yang pasif dengan menyerap ide-ide materialistis secara langsung. Promosi iklan melalui saluran TV ataupun situs semacam Instagram mendorong adanya gaya hidup tertentu; misalkan memiliki perabot mahal atau liburan eksotik ini lalu diterima sebagai elemen penting dalam jati diri sosial.
Aliran informasi turut menghasilkan pasar baru yang bertujuan memanfaatkan rasa kesepian manusia akibar kehidupan kerja sehari-hari. Seperti pendapat Richard Sennett pada tahun 1998, profesi kontemporer yang membosankan serta berulang-ulang cenderung mendorong isolasi sosial, di mana seseorang merasa tidak lagi tersambung dengan nilai-nilai ataupun maksud dari aktivitas kerjanya sendiri. Lalu industri hiburan dan gaya hidup menjadikan situasi tersebut sebagai peluang dengan memberi penawaran dalam bentuk barang-barang maupun jasa-jasa yang menjamin kemudahan atau cara melepaskan diri. Sebagai contoh, promosi-promosi tentang paket wisata atau alat-alat elektronik biasanya ditujukan kepada para profesional perkotaan yang merasa ditekan oleh tuntutan rutinitas harian, lantas hal itu disampaikan sebagai suatu 'kemerdekaan' lewat proses penggunaannya.
Sosmed mempertegas dampak tersebut dengan menghasilkan echo chambers Di sini, individu secara berkelanjutan terpajan oleh materi yang semakin meningkatkan preferensi dan gaya hidup mereka. Sebagaimana dikemukakan Sunstein (2017), algoritme dari platform media sosial biasanya menunjukkan isi sesuai dengan ketertarikan para pemakai, ini pun mengeraskan kebiasaan konsumtif tersebut. Contohnya, bila ada orang yang kerapkali mencari data tentang fashion maka ia bakal selalu bertemu dengan promosi busana, hal itu bisa membuat mereka merasa perlu membeli produk-produk baru hanya agar tetap tampil modis.
Televisi serta media sosial turut membantu dalam mengkomunikasikan cara-cara hidup tertentu. Acara TV seperti acara realitas atau iklan kerapkali menampilkan model hidup hedonis, di mana kegembiraan dinilai melalui kepemilikan benda-benda ataupun pengalaman mewah. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh O’Guinn dan Shrum pada tahun 1997, eksposur kepada jenis konten tersebut bisa mendongkrak ambisi materiel, khususnya di antara pemuda dan remaja, hal itu pun akhirnya mencerminkan bagaimana mereka melakukan pembelian produk.
Gaya hidup dan tingkat pendapatan merupakan dua aspek yang erat hubungannya dalam mendefinisikan interaksi sosial di tengah masyarakat kontemporer. Penggunaan barang atau layanan, selaku wujud dari gaya hidup, bukan saja bertujuan untuk memenuhi kepentingan pokok, namun juga menjadi sarana bagi individu untuk menyatakan identitas diri, posisi social, serta ikut merasakan kepemilikan pada komunitas tertentu. Karir memiliki peran penting dalam penetapan kondisi finansial seseorang dan model perilaku mereka, dimana pembagian bidang seperti pertanian, produksi, dan pelayanan menciptakan ragam cara menjalani hidup di kalangan publik. Di saat bersamaan, penyampaian data lewat platform massa semakin menguatkan tren pengambilan produk tersebut, kerapkali mendorong sikap belanja tanpa kendali dan obsesi akan kesenangan sesaat. Kendala kedepannya ialah tentang bagaimana masyarakat bisa mengendalikan beban budaya dan ekonomis secara bijaksana agar tercipta rutinitas yang lestari dan bernilai positif.