Skandal Ijazah Jokowi: Traps Politik dan Rencana Hukum yang Mematikan

RUBLIK DEPOK – Kembali muncul skandal dugaan ijazah palsu yang melibatkan nama bekas Presiden Joko Widodo di media massa setelah Munarman mengeluarkan pernyataan tajam pada saluran YouTube Refly Harun, tanggal 19 Mei 2025.

Pada podcast YouTube milik Refly Harun, narasumber Munarman, seorang bekasaktivis dan praktisi hukum, membahas secara mendalam tuduhan tentang dugaan skandal ijazah palsu yang menyangkut mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Pembicaraan ini menyingkap beberapa titik penting tentang taktik hukum, ketidakseimbangan dalam pelaksanaannya, serta adanya kemungkinan provokasi politik yang mendapat perhatian masyarakat umum.

Strategi Hukum Jokowi: Menggeser Tiang Gawang

Munarman mengkritisi pendekatan hukum yang diyakininya dipakai oleh tim Jokowi untuk menjauhkan pembicaraan tentang isi lapiran soal tuduhan palsunya ijazah. Munarman menyatakan bahwa keluhan yang disampaikan Jokowi kepada individu-individu yang meragukan legalitas ijazah tersebut merupakan sebagian dari trik "menyelipkan bola". Melalui pengaduan kembali dengan menerapkan aturan-atruan serius seperti Pasal 32 dan 35 UU ITI (Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik) —yang bisa membawa ancaman hukuman mencapai 12 tahun kurungan— dianggap sebagai upaya bagi Jokowi untuk mentransformasi sorotan dari pertanyaan atas penyimpangan dokumen menuju masalah pencemaran reputasi.

“Strategi ini dimainkan karena mereka yakin institusi penegak hukum masih dalam pengaruh mereka,” ujar Munarman.

Dia menegaskan bahwa tindakan tersebut tidak semata-mata bertujuan mencegah jalannya proses hukum terhadap Jokowi, melainkan juga berupaya mendiskreditkan para pengadu, termasuk kelompok seperti Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA).

Munarman menggarisbawahi bahwa ketentuan-ketentuan itu kerap dipakai untuk menahannya seseorang tanpa harus menyediakan bukti yang substantif, khususnya bila ancaman hukumannya melebihi lima tahun.

Kesenjangan dalam Penegakan Hukum: Tindak Pelanggaran Pengaduan versus Tindak Pelanggaran Umum

Munarman juga mengkritik ketimpangan dalam penegakan hukum antara laporan TPUA terhadap Jokowi dan pengaduan Jokowi terhadap pihak lain. Ia menjelaskan bahwa laporan TPUA, yang menyangkut dugaan pemalsuan ijazah sebagai delik umum, seharusnya dapat langsung diproses polisi tanpa memerlukan aduan dari korban. Namun, laporan ini baru ditindaklanjuti setelah beberapa bulan, bahkan setelah pelaporan berulang kali sejak Desember 2024.

Sebaliknya, pengaduan Jokowi, yang seharusnya dikategorikan sebagai delik aduan karena menyangkut kepentingan pribadi, justru diproses dengan cepat. “Hari yang sama ketika Jokowi melapor, dia langsung diperiksa. Sementara laporan TPUA butuh waktu berbulan-bulan,” kata Munarman.

Dia menyatakan bahwa Peraturan Kepolisian Republik Indonesia (Perkap) perlu direvisi agar sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Aturan tersebut mensyaratkan laporan pertama yang masuk harus mendapat prioritas.

Munarman pun mengusulkan supaya seluruh kasus tersebut diarahkan kembali kepada Bareskrim Polri guna penanganannya yang lebih terkoordinasi. "Pelaporan tentang PUA harus menjadi prioritas karena merupakan bagian dari pelanggaran hukum utama," tandasnya. Dia juga mementaskan betapa vitalnya melakukan analisis forensik pada berkas-berkas ijazah demi memecahkan perselisihan dengan cara yang jujur dan gamblang.

Manipulasi Politik dan Pembiakan Kekuasaan

Selanjutnya, Munarman menilai bahwa perkara ini tidak hanya seputar aspek hukum, tetapi juga merupakan provokasi politik yang bertujuan untuk memelihara posisi Jokowi di ranah publik. Menurutnya, hal tersebut dapat dilihat sebagai "perpanjangannya kekuasaan", dimana Jokowi diyakini menggunakan masalah ini untuk melestarikan ketenaran dan mencoba kesetiaan para pengikutnya, baik itu dari dalam ataupun luar jajaran berwenang.

"Episode ketiga ini terjadi setelah kasus Bambang Tri dan Gus Nur. Di Polonia pun demikian: munculkan isu, manfaatin pembicaraan publik, kemudian gunakan kekuatan otoritas untuk menjerat lawan," jelas Munarman. Dia juga curiga jika masalah ini digunakan sebagai cara meningkatkan popularitas anak Presiden Jokowi, yang dikabarkan tengah merintis karir di bidang politik.

Munarman menyebutkan bahwa kader PSI yang memposting ijasah di platform media sosial, bersama dengan mereka yang menayangkannya dalam pertemuan reuni UGM, harus menjadi prioritas dalam investigasi sesuai dengan Pasal 32 dan 35 dari Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronronik (ITE), daripada orang-orang yang sekadar melakukan analisis terhadap dokumen itu sendiri, seperti halnya Rismawati Simanjuntak dan Roy Suryo. "Apabila proses peradilan berjalan secara tepat, ini dapat membawa dampak negatif kepada penggugat," ungkapnya.

Usulan untuk TPUA dan Masyarakat Umum

Munarman menyarankan agar TPUA tetap menyuarakan laporan mereka dan dengan resmi memohon kepada Bareskrim Polri supaya mencabut kasus tersebut dari Polda Metro Jaya. Dia juga mendorong untuk melakukan pemeriksaan forensik di Laboratorium Forensik Polri guna membuktikan apakah ijazah itu asli atau palsu. "Apabila tak ada dugaan motif politis, hal ini sesungguhnya sederhana. Cukup jalani prosedur pemeriksaan forensik saja," katanya.

Meski demikian, dia menekankan bahwa kemerdekaan para penegak hukum di Indonesia tetap merupakan suatu tantangan yang signifikan. "Para pejabat penegak hukum tidak hidup dalam vakuum; mereka dipengaruhi oleh sistem politik dan administrasi. Namun, kami perlu terus mengingatkan mereka akan janji sumpah jabatan mereka sebagai pegawai negeri, bukannya instrumen politik," kata Munarman dengan tegas.

Lebih baru Lebih lama