RUBLIK DEPOK - Desa, sebagaimana unit pemukiman yang sangat terkait dengan aktivitas bertani, sudah lama menjadi fondasi bagi kehidupan penduduk di seluruh penjuru dunia, termasuk di Indonesia.
Secara tradisional, desa dikenali sebagai tempat berfokus pada pertanian, dimana kebanyakan penghuni bekerja sebagai petani yang bergantung kepada hasil tanaman. Akan tetapi, sejalan dengan perubahan jaman, terutama di negeri-negeri industri berkembang seperti Amerika Syarikat dan Eropah Barat, pandangan ini mula berubah.
Pertanian bukan lagi sebagai satu-satunya fondasi perekonomian di pedesaan, sementara interaksi antara manusia dan lahan telah berubah secara dramatis. Tulisan ini bakal membahas struktur ekonomi warga pedesaan, lebih-lebih pada sektor pertanian, beserta dampaknya kepada kehidupan sosio-kultural, meliputi pemisahan dan pengelolaan lahan, hak milik atas tanah, serta perubahan dinamika industri peternakan.
Desa dan Petani: Menyelami Gaya Hidup Menuju Bisnis Kontemporer
Tradisionalnya, sebuah desa dianggap sebagai area perumahan yang mengandalkan pertanian. Sesuai dengan dokumen tersebut, Inisiasi Sosiologi Pedesaan Pertanian mengharuskan manusia untuk tinggal di satu lokasi tertentu agar bisa merawat tumbuhan dan menantikan masa panen. Ini membentuk pandangan luas yang menyatakan bahwa penduduk pedesaan kebanyakan berprofesi sebagai petani, serta sebaliknya, orang-orang yang disebut petani sering dikaitkan dengan komunitas pedesaan. Akan tetapi, kenyataannya kurang tepat secara keseluruhan.
Pada sejumlah area tertentu, ada kampung-kampung yang bukan bergantung pada pertanian, misalnya kampung nelayan ataupun tempat-tempat yang mengutamakan perdagangan dan layanan, walaupun proporsinya lebih sedikit bila dibandingkan dengan desa-desa bertani.
Di negeri-negeri berkembang, pertanian di pedesaan sudah berganti menjadi usaha moderen yang bertujuan untuk mendapatkan laba, tidak hanya sebagai gaya hidup saja. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mencatat adanya pergeseran ini di wilayah perkotaan tertentu seperti kawasan pinggir jakarta maupun surabaya dimana ada pembaharuan dalam struktur perekonomian desa menuju layanan dan industri skala kecil.
Phenomenon ini pun dapat ditemui di Eropa, tempat berdasarkan laporan Eurostat (2023), kurang lebih hanya 10% populasi pedesaan di negara-negara seperti Belanda dan Jerman yang masih aktif dalam bidang pertanian. Lebih lanjut, banyak pengusaha pertanian di area tersebut justru berasal dari perkotaan dan menerapkan metode pertanian modern seperti otonomi dan sistem irigasi pintar.
Hubungan Manusia dan Tanah: Land Division dan Land Use
Kerjasama antara warga desa dengan lahan menjadi hal krusial dalam struktur perekonomian pedesaan, terlebih lagi bagi daerah-daerah yang tetap mengandalkan sektor pertanian. Sesuai catatan itu, bagian tentang penyerahan serta pemakaian properti tanah berperan penting. land division dan land use ) sangat memengaruhi struktur sosial masyarakat desa.
Di kampung-kampung tradisional yang tetap sederhana, terdapat dampak land division dan land use Cenderung tidak begitu mencolok lantaran keperluan sehari-hari yang rendah serta teknologi yang terbatas. Akan tetapi, di kawasan pedesaan yang sudah berkembang, tempat dimana bertani bersifat bisnis dan lahan dilihat sebagai milik pribadi, sistem tersebut memainkan peranan cukup berarti.
Misalkan dalam masyarakat pedesaan tradisional Indonesia, sebagaimana terdapat di wilayah Jawa ataupun Bali, cara pembagian lahan umumnya mengacu pada aturan pewarisan adat istiadat keluarga. Tetapi sesuai dengan laporan riset dari Universitas Gadjah Mada tahun 2022, di kawasan-kawasan yang sudah lebih berkembang layaknya Yogyakarta, pemakaian tanah mulai beralih menuju aspek komersialisasi; dimana lahan tersebut dapat disewakan maupun dipinjamkan kepada orang lain demi tujuan usaha. Model kontrol atas tanah semacam hak milik, hak pakai, sewa-temunya, atau bagi hasil pun turut membentuk perubahan hubungan sosial misalnya struktur hierarki ekonomi serta perseteruan soal kepemilikannya.
Reformasi pertanian, yang berusaha memperbaiki distribusi tanah agar lebih merata, merupakan masalah utama di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang (2024), upaya ini masih terhambat oleh hambatan administratif serta perbedaan dalam kepemilikan tanah. Hal tersebut membuat beberapa petani hanya memiliki sedikit lahan, sementara sisanya dikendalikan oleh entitas privat atau badan usaha besar.
Sistem Perdesaan: Inti Perekonomian Kampung
Struktur pertanian menjadi fondasi penting bagi perekonomian warga pedesaan, khususnya di Indonesia yang sebagian besar desanya bergerak dalam bidang agraris. Sosiologi Pedesaan menggarisbawahi bahwa untuk masyarakat pedesaan tradisional, sistem pertanian tidak sekadar metode mendapatkan penghidupan, melainkan juga merupakan bagian integral dari ekonomi mereka, yang ditujukan untuk memenuhi keperluan fisik. Lebih lanjut, banyak desa nelayan di Indonesia pun mengandalkan sektor pertanian sebagai salah satu sumber penghasilan ekstra.
Akan tetapi, tantangan dalam memodernisasi sektor pertanian sedang merombak pemandangan ini. Sesuai dengan laporan yang dirilis oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada tahun 2023, penggunaan teknologi agraria moderen, termasuk traktor serta pesawat tak berawak untuk pertanian, sudah mendorong peningkatan hasil panen di berbagai kampung halaman di tanah air tersebut; namun demikian, hal itu pun membawa perbedaan tingkat kemajuan antara satu tempat ke lainnya.
Pertaniannya para petani skala kecil dengan luasan tanah terbatas kerap kali sulit untuk bertahan di tengah persaingan dengan para petani besar yang memanfaatkan peralatan modern. Di samping itu, penatausahaan bisnis dalam sektor pertanian telah merombak pandangan tentang nilai tanah dari hanya sebagai penyedia nafkah menjadi objek investasi, hal ini menyebabkan kenaikan harga properti serta tantangan lebih lanjut bagi petani-petiwi tersebut mendapatkan tempat bercocok tanam.