Komnas Perempuan menilai pernyataan tersebut menyakitkan bagi para penyintas dan berpotensi memperpanjang praktik impunitas.
"Para korban telah menggendong beban yang berlarut-larut tanpa berkata apa-apa. Penolakan untuk mengakui hal ini tidak hanya menyebabkan rasa sakit, tetapi juga makin memperpanjang kebebasan bagi pelaku," ungkap Anggota Komnas Perempuan, Dahlia Madanih, sebagaimana dikutip oleh Antara di Jakarta pada hari Minggu (15/6).
Komnas Perempuan mengingatkan bahwa laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tentang kerusuhan Mei 1998 mencatat adanya pelanggaran hak asasi manusia, termasuk 85 kasus kekerasan seksual, dengan 52 di antaranya berupa pemerkosaan.
Menurut Dahlia, temuan tersebut telah disampaikan langsung kepada Presiden BJ Habibie kala itu dan menjadi dasar pengakuan resmi negara atas kekerasan seksual terhadap perempuan dalam tragedi tersebut. Laporan itu juga menjadi pijakan bagi pembentukan Komnas Perempuan melalui Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998.
"Mengingkari dokumen resmi TGPF artinya mengacuhkan upaya bersama masyarakat untuk mencapai keadilan. Pendekatan seperti ini malahan akan membuat kami terpisah dari proses pemulihan yang sejati dan komprehensif bagi korban," ungkap Dahlia Madanih.
Sebelumnya, dalam sebuah wawancara dengan media, Fadli Zon menyatakan bahwa tidak ada pemerkosaan massal dalam peristiwa Mei 1998. Ia menyebut informasi tersebut hanya sebatas rumor tanpa bukti yang bisa dipertanggungjawabkan.
"Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka tidak bisa buktikan. Maksud saya adalah sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang bisa mempersatukan bangsa dan tone-nya harus begitu," ujar Fadli Zon.
Kini, Departemen Budaya sedang menyusun kembali sejarah Indonesia. Fadli mengeraskan bahwa metode yang digunakan bersifat positif, bertujuan untuk menyatukan negara, tidak semata-mata membuka kran kesalahan dari zaman dahulu.
“Jadi kita tentu tone-nya itu adalah dalam sejarah untuk mempersatukan kebenaran bangsa. Untuk apa kita menulis sejarah untuk memecah-belah bangsa,” tambahnya.
Pernyataan Fadli ini memicu reaksi publik, khususnya dari kalangan pemerhati hak asasi manusia dan kelompok penyintas, yang menilai bahwa upaya rekonsiliasi dan penulisan sejarah tidak boleh mengaburkan fakta-fakta pelanggaran HAM di masa lalu.***