
Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) DIY beri penjelasan mengenai potensi gempa megathrust berkekuatan magnitudo 8,8. Informasi ini disebarluaskan dengan tujuan membangun kesadaran masyarakat untuk melakukan mitigasi mandiri.
Kepala BMKG Stasiun Geofisika Sleman, Ardhianto Septhiadi, menjelaskan bahwa potensi gempa berkuatan magnitudo 8,8 merupakan hasil perhitungan para ahli yang tergabung dalam Pusat Studi Gempa Nasional.
“Itu dihitung secara modeling matematis, baru ketemu nilai maksimalnya, dan kejadiannya bisa ratusan bahkan ribuan tahun ke depan dari akumulasi energi gempa,” kata Ardhianto saat diwawancarai kontributor Tirto di Pusat Gempabumi Regional VII, Sleman pada Jumat, 13 Juni 2025.
Ardhianto melanjutkan, dari skenario yang dibuat ahli tersebut, BMKG melakukan modeling untuk menghitung waktu tiba gelombang dan ketinggian tsunami. Namun, ketinggian tsunami tergantung dari topografi lokasi.
“Jadi ketinggian 22 meter itu, [tidak] sampai di Yogyakarta, yang 22 meter itu di bibir pantai, tapi ketika ada penguatan dan pengurangan akibat vegetasi sebagainya [dampaknya dapat dikurangi],” lanjutnya.
Oleh karena itu, kata Ardhianto, biasanya ada penanaman pohon untuk mengurangi ketinggian tsunami seperti hutan bakau dan sebagainya. Sedangkan waktu tiba dihitung secara modeling, golden time atau waktu terbaik untuk penyelamatan adalah setengah dari waktu perhitungan.
“Perhitungan 38 menit itu, ada istilah biasanya 20, 20, 20. Ketinggian maksimal tsunami estimasinya 20 meter, kita harus lari ketempat yang lebih dari ketinggian tsunami selama 20 menit, guncangan gempa biasanya 20 detik,” sebutnya.
“Saat merasakan guncangan gempa 20 detik, kita harus mencari tempat yang lebih dari ketinggian tsunami dalam [waktu] 20 menit untuk sampai ke tempat aman,” imbuhnya.
Perhitungan bencana akibat megathrust, sebut dia, dilakukan sebagai upaya untuk membangun kesadaran warga, sehingga dapat melakukan mitigasi.
"Itulah, yang dibangun kapasitasnya [kesadaran bencana dan cara mitigasi] di masyarakat," kata Ardhinato.
Ardhianto mengungkapkan rasa syukur, kini Indonesia memiliki ahli yang bisa menghitung potensi bencana. Sehingga sudah ada pemetaan terkait kapasitas dan mitigasi bencana di seluruh Indonesia.
Dia mengambil contoh dari kejadian tsunami Aceh pada 2004. Peristiwa tersebut adalah suatu pembelajaran. Menurut Ardianto, dulu belum banyak ahli yang melakukan penelitian sehingga potensi dari bencana memilukan itu tidak terpetakan.
Membangun Kesadaran Mitigasi Megathrust di Selatan Jawa
Ardhinato menilai pembangunan sistem peringatan dini berbasis teknologi bagi masyarakat adalah penting. Tapi menurutnya, langkah awal yang perlu dilakukan adalah memperkenalkan potensi bahaya tsunami.Dalam pemetaan segmen-segmen yang ada di megathrust, segmen selatan Jawa memiliki potensi maksimal magnitudo 8,8. Oleh sebab itu, BMKG menempatkan Warning Receiver System (WRS) di beberapa titik.
Setiap kejadian gempa akan jadi informasi yang secara otomatis masuk ke WRS. Maka, BMKG pun terus melakukan monitoring dengan memperbanyak hingga merapatkan jaringan sensor untuk mendeteksi kejadian gempa bumi.
“Hari ini dalam satu minggu, kejadian gempa bumi di wilayah kita kurang lebih 100 kejadian yang didominasi magnitudo kecil. Setelah itu kita diseminasi untuk disebarkan ke masyarakat,” katanya.
Ardhianto bilang, statement bahaya potensi magnitudo 8,8 M merupakan upaya dari BMKG untuk membangun kesadaran. Masyarakat harus tahu bahwa di daerahnya ada potensi bencana yang sangat besar.
Diharapkan, kesadaran masyarakat akan potensi bahaya beriringan dengan upaya mitigasi mandiri. Antara lain, membuat perencanaan terkait kebijakan rumah berbasis rencana, fasilitas masyarakat, hingga membangun jalur-jalur evakuasi tsunami di daerah rawan.
“Yang diharapkan adalah pembangunan mitigasi bencana yang berkesinambungan berbasis masyarakat tanggap dan sadar, sehingga bisa melakukan peyelamatan dini tanpa menunggu digerakkan oleh siapapun,” tegasnya.
Ia mengaitkan berdasarkan penelitian, orang yang selamat dari gempa bumi adalah yang paham akan langkah-langkah keselamatan.
Ardhianto juga menghimbau kepada seluruh masyarakat agar tidak panik, melainkan menyiapkan langkah-langkah mitigasi dan keselamatan berdasarkan kemampuan diri.
“Mari kita bersama-sama membangun mitigasi dari tingkat masyarakat sampai ke tingkat instasional kolaborasi adalah kunci dari keselamatan,” tandasnya.