Media ZionisThe Times of Israelmengakui kekuatan Hamas yang akan tetap memegang kendali atas Gaza meskipun perjanjian perdamaian antara Israel dan Palestina yang diupayakan Amerika menekankan penghapusan senjata mereka.
“Hamas telah sering kali menunjukkan bahwa mereka mampu menghadapi kerusakan besar dan bangkit lebih kuat daripada sebelumnya,” tulis Lazar Berman, penulis The Times of Israel yang dimuat pada Senin (20/10/2025).
Di bawah bayang-bayang sisa-sisa Gaza, kelompok perlawanan Hamas justru berkembang seperti jamur di musim hujan—setiap kali dihancurkan, mereka muncul kembali dengan bentuk yang lebih rumit dan fleksibel.
Jaringan mereka yang cair sering kali membuat pasukan Israel merasa frustrasi dan khawatir: setiap komandan yang tewas, tiga orang pengganti baru sudah siap menggantikan posisinya. Mereka bukan tentara biasa yang bergantung pada logistik pusat, melainkan pejuang gerilya perkotaan yang berada di tengah kehidupan kamp pengungsian dan terowongan bawah tanah yang bahkan intelijen paling hebat pun tidak pernah benar-benar bisa memetakan seluruhnya.
Kekuatan Hamas sebenarnya terletak pada kemampuan mereka beradaptasi dalam situasi yang sangat terbatas. Dengan adanya pembatasan darat, laut, dan udara selama bertahun-tahun, mereka membangun roket dari pipa saluran air dan peluncur rudal dari kontainer bekas. Hal ini menunjukkan bahwa kreativitas bisa menjadi alat paling efektif ketika sumber daya terbatas.
Setiap serangan bom Israel yang merobohkan permukaan bumi justru memperdalam "negara bawah tanah" mereka: terowongan-terowongan yang bukan hanya jalur penyelundupan, tetapi ibu kota perang gerilya dengan sistem perintah, logistik, dan komunikasi yang tetap berjalan meskipun dunia di atasnya hancur lebur.
Yang paling membuat Israel tidak pernah tenang adalah kemampuan Hamas untuk bangkit secara politik meskipun mengalami kerusakan fisik. Setiap serangan yang menimbulkan korban jiwa sipil justru menjadi bahan bakar untuk merekrut banyak orang.
Kekerasan yang terpampang di media internasional menjadi senjata utama yang memperluas dukungan diam-diam bahkan di kalangan rakyat Palestina yang awalnya mengkritik mereka. Dalam pertarungan psikologis ini, pesan Hamas tetap konsisten: "Kami mungkin kehilangan medan perang hari ini, tapi kami akan menang dalam perang narasi besok."
Maka, selama akar ketidakadilan masih menyala di Gaza, Hamas akan tetap menjadi mimpi buruk abadi bagi Israel—sebuah kondisi yang tidak bisa hilang hanya dengan kekuatan roket dan pesawat tanpa awak.
Mereka merupakan gambaran dari kegagalan penguasaan: semakin kuat tekanan yang diberikan, semakin dalam mereka menyebar di benak rakyat sebagai lambang perlawanan.
Skenario terburuk bagi Israel bukanlah serangan roket yang jarang terjadi, melainkan fakta bahwa setelah berpuluh tahun konflik, mereka masih tidak mampu memutus siklus regenerasi organisasi yang justru semakin kuat akibat setiap tindakan represif yang dilakukan.
Bahkan Menjadi Lebih Besar
Di dalam tulisan tersebut, Lazar Berman menggambarkan bahwa setelah Operasi Cast Lead pada tahun 2008, Operasi Protective Edge pada tahun 2014, serta operasi-operasi kecil yang terus-menerus dilakukan di Gaza sejak penarikan pasukan Israel pada tahun 2005, Hamas tetap bertahan. Bahkan, kekuatannya semakin meningkat.
Kelompok perlawanan ini berkomitmen untuk membuktikan bahwa mereka menguasai situasi. Pembebasan 28 tahanan yang meninggal telah ditunda. Hingga hari Minggu, mereka hanya menyerahkan 12 tahanan, enam hari setelah masa tenggat waktu 72 jam untuk menyerahkan seluruh 28 jenazah berakhir.
Tidak akan mundur
Hamas terlihat tidak terlalu khawatir mengenai ancaman semacam itu, baik yang berasal dari Yerusalem maupun Washington.
Anggota politbiro Hamas, Mohammed Nazzal, menyampaikan kepada Reuters pada hari Sabtu bahwa Hamas tidak akan bersedia untuk melepaskan senjata, yang merupakan bagian penting dari rencana Trump. Hal ini tanpa memperhatikan ancaman Trump bahwa kelompok teror tersebut dapat ditangani "dengan kekerasan" jika menolak untuk menyerahkan senjatanya.
Hamas tidak berusaha menyembunyikan senjata mereka atau tekad untuk menghilangkan lawan di Gaza melalui kekerasan. Hamas telah melakukan eksekusi terbuka, dan anggota-anggotanya kembali memakai seragam, berkeliling Gaza menggunakan truk pikap sambil memegang senapan.
"Ini bukan tindakan organisasi yang siap menyerahkan wewenang dan menghentikan kekerasan," tulis Lazar Berman
Hamas tetap memiliki senjata, penuh semangat, dan menjadi kekuatan paling kuat di Gaza selain IDF. Kapan saja IDF melemah, Hamas akan segera menghancurkannya.
Dalam rangkaian pertemuan yang menggambarkan perang asimetris secara sempurna, pasukan Al-Qassam, sayap militer Hamas, sering kali berhasil "menghancurkan" unit-unit militer Israel di lapangan perang melalui taktik perang gerilya perkotaan dan penyerangan yang luar biasa.
Menggunakan pemahaman mendalam mengenai medan pertempuran di Gaza, termasuk jaringan terowongan bawah tanah yang rumit yang dikenal sebagai "metro Gaza", para pejuang Hamas ini menghindari pertempuran terbuka dan justru menarik pasukan IDF yang memiliki teknologi lebih unggul masuk ke dalam perangkap mematikan.
Menggunakan senjata ringan yang efektif seperti RPG (Rocket-Propelled Grenade) untuk menghancurkan kendaraan lapis baja, serta drone kecil yang diubah untuk melemparkan granat, mereka menciptakan kerugian yang besar dalam jarak dekat di mana keunggulan teknologi Israel tidak dapat bekerja dengan baik.
Setiap operasi yang berhasil tidak hanya berupa merusak tank atau membunuh tentara, tetapi juga serangan psikologis mendalam terhadap semangat pasukan IDF, menunjukkan bahwa sang "pembunuh" yang tak terlihat berada di tengah-tengah Gaza, mengintai di setiap sudut puing dan lorong gelap.