
Transformasidigitalyang sedang digencarkan oleh pemerintah di sektormasalah tanahmelalui penerbitan sertifikat tanah elektronik berpotensi menghadapi tantangan dari sisi kepercayaan masyarakat.
Seorang pengacara dan praktisi hukum perumahan, Muhammad Joni menjelaskan secara formal legal, dokumen digital ini memiliki kedudukan hukum yang setara dengan sertifikat konvensional berbentuk buku.
Namun, dari sisi sosial, penerimaan masyarakat masih penuh keraguan. Dia menilai tantangan terbesar sertifikat elektronik bukan terletak pada regulasi, melainkan pada aspek kepercayaan publik atau public trust.
Dia melanjutkan dari perspektif sosiologi hukum, masyarakat belum terbiasa dengan digitalisasi dalam urusan tanah. Ada keterikatan emosional bahwa hak atas tanah harus dapat dipegang secara fisik.
"Jika sertifikat buku saja sering tumpang tindih dan menjadi objek sengketa, masyarakat semakin ragu terhadap bentuk digital yang tidak terlihat," katanya kepada Bisnis, Selasa (30/9/2025).
Joni yang juga Ketua Konsorsium Nasional Perumahan Rakyat menilai bahwa kepercayaan publik tidak cukup dibangun hanya melalui sosialisasi atau promosi. Menurutnya, jaminan negara menjadi faktor penentu agar masyarakat yakin bahwa hak atas tanah benar-benar terlindungi.
"Publik tidak membutuhkan janji, publik membutuhkan bukti. Sertifikat elektronik hanya akan dianggap sebagai ilusi jika negara tidak hadir untuk menyelesaikan sengketa secara cepat, menindak mafia tanah dengan tegas, dan memastikan data pertanahan aman dari manipulasi," tegasnya.
Selanjutnya, ia mengingatkan bahwa konflik agraria yang masih marak di berbagai daerah membuat penerapan sertifikat elektronik berpotensi menghadapi pesimisme publik. Dalam bayangan masyarakat, digitalisasi bukanlah solusi, melainkan hanya memindahkan masalah lama ke layar baru.
"Intinya, sertifikat tanah, baik dalam bentuk kertas maupun digital adalah janji negara. Jika janji itu ditepati, masyarakat akan percaya. Jika tidak, seberapa canggihnya teknologi pun tidak ada artinya," kata Joni.