Politik Nostalgia: Trap di Balik Kenangan Masa Lalu

Pernahkah kamu merasa seperti kembali ke masa lampau saat memutar lagu-lagu favoritmu dari artis atau grup musik yang sedang hits waktu masih menjadi remaja? Atau mungkin pernah juga rasanya bahwa hidup dahulu jauh lebih menyenangkan daripada hari ini ketika potongan-potongan animasi zaman dulu tampil di beranda media sosial mu? Rasa-rasanya itu biasa disebut dengan sebuah istilah yaitu nostalgia. Nostalgia adalah rasa kesepian akan masa lalumu sendiri, dimana hal-hal di masa silam cenderung dipandang lebih indah, aman serta damai jika dibandingkan dengan realitas tidak pastinya duniamu saat ini.

Nostalgia ternyata bukan hanya dirasakan secara pribadi, melainkan juga dapat diamati dalam dinamika sosial berskala besar seperti di bidang politik yang memiliki dampak signifikan pada kehidupan kita. Di tanah air, nostalgia kerap dimanfaatkan untuk membentuk cerita yang menarik sekelompok orang agar berdiri bersatu dan mendukung tujuan politik spesifik. Hal ini biasanya tampak dalam diskursus publik yang menjelaskan tentang masa lampau dengan gambaran " golden era ", suatu era yang dipenuhi dengan kestabilan politik, pertumbuhan ekonomi, serta keteraturan dalam masyarakat.

Mengacu pada pernyataan Boym (2001), nostalgia bukan sekadar rasa rindu kepada masa lalu, melainkan juga proses membangkitkan kembali nilai-nilai tertentu yang diyakini telah lenyap atau menjadi ancaman dalam konteks saat ini. Konsep ini biasanya dimanfaatkan untuk merumuskan identitas bersama yang berasal dari zaman dahulu yang dipandang sebagai era yang lebih ideal, dengan tujuan agar Indonesia bisa menempuh jalan menuju stabilitas dan kemakmuran yang lebih besar.

Politik Nostalgia di Indonesia

Contoh terbaru adalah poin pertama dari tuntutan Forum Purnawirawan Prajurit TNI yang baru-baru ini viral dan menjadi pemberitaan (tentu saja yang lebih viral adalah poin kedelapan). Kembalikan Undang-Undang Dasar 1945 yang asli sebagai dasar hukum untuk politik dan struktur pemerintahan. Berikut bunyi butir pertama dari tuntutan Forum Purnawirawan Prajurit TNI itu.

  • Purnawirawan TNI Mendesak Penggantian Gibran serta Pencopotan dan Penyegelan Kabinet Mentri, Jawaban Prabowo
  • Riwayat SBY Dalam Menghapus Dwifungsi ABRI Sebagai Peninggalan Orde Baru
  • Istana Tegaskan Penempatan TNI di Kejaksaan Bukan Militerisasi

Di Indonesia, pendekatan politik bernostalgia cenderung menumpukan perhatiannya pada zaman Orde Baru yang diperintah oleh Soeharto. Walaupun masa itu ditandai dengan pemerintahan otoriter serta adanya pelanggaran HAM, sejumlah kelompok masih kerap mengenang periode tersebut dengan rasa nostalis, menyebut kembali stabilitas dalam bidang politik dan pertumbuhan ekonomi sebagai situasi ideal yang layak untuk direstore.

Dalam penerapannya sebagaimana dinyatakan oleh de Vries dan Hoffmann (2018), politik bernostalgia kerapkali mengambil cerita tentang masa lalunya guna menjawab ketidaktentuan pada zaman modern, dengan melihat ke belakang kepada suatu era yang dipercaya memiliki stabilitas, tatanan, dan rancangan yang lebih baik. Di sini, nostalgianya menjadi instrumen untuk meredam tensi dan ketidakjelasan akibat pergantian sosial-politik yang cepat, juga sebagai metode bagi penyatuan masyarakat dalam satu narasi yang lebih sistematis dan damai.

Setelah Reformasi 1998, Indonesia memasuki era demokratisasi yang membuka ruang bagi pluralitas politik dan kebebasan berbicara. Namun, transisi menuju demokrasi ini tidak berjalan mulus. Dalam menghadapi berbagai tantangan, termasuk masih kuat dan terus menguatnya oligarki (Robison & Hadiz, 2004), nostalgia terhadap masa lalu, terutama masa Orde Baru, tetap hidup dalam sanubari sebagian orang di Indonesia.

Analogi Kebijakan Publik Orde Baru

Salah satu wujud dari politik nostalgia yang umum diterapkan adalah melalui penggunaan analogi dalam kebijakan publik. Menggunakan bandingan antara keputusan pemerintahan zaman dahulu dengan kondisi modern yang dirasakan tidak menentu bisa menciptakan sensasi kedamaian di tengah-tengah masyarakat. Di Indonesia, pendekatan seperti itu dimanfaatkan untuk menyambut hubungan masa depan dengan gambaran tentang era lampau yang dipandang lebih ideal. Anjuran menggunakan contoh masa lalu tersebut selanjutnya membantu merefresh perasaan terkait kesetabilan dan ketertiban jaman silam; hal ini menjadi fondasi bagi kelompok tertentu yang percaya bahwa Indonesia sudah mulai hilang tujuan setelah Orde Baru usai.

Tidak bisa disangkal bahwa untuk beberapa kalangan, upaya pembangunan infrastruktur fisikal serta perkembangan ekonomi yang cepat saat era Soeharto merupakan tanda kesuksesan yang ingin mereka bawa kembali. Proyek-proyek besar seperti jalur toll, dermaga, dan station listrik yang digagas waktu itu, menjadi bukti kemajuan yang umumnya dikaitkan dengan capaian pemerintahan Orde Baru dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, situasi setelah Reformasi kerap dilihat sebagai periode yang sarat akan ketidaktentuan dan ketidaktepatan sistem politik.

Tak tertentunya situasi politik dan ekonomi setelah Reformasi kerapkali disertai oleh rasa tidak puas terhadap penguasa saat itu. Di sini, nostalgia dipergunakan sebagai sarana bagi berbagai kalangan masyarakat (termasuk para tokoh politik) guna mengungkapkan keprihatinan mereka atas kondisi yang dinilai semakin memburuk dan tak teratur.

Nostalgia sebagai Alat Legitimasi

Menurut pendapat Boym pada tahun 2001, nostalgia tak sekadar menjadi hasrat memori tentang masa lampau, melainkan juga ungkapan atas kecemasan dan ketidaktahanan terhadap waktu mendatang. Di kalangan beberapa orang di Indonesia, kenangan manis tentang Orde Baru merupakan metode efektif dalam merespons perasaan kurang amannya yang semakin bertambah setelah era Reformasi. Melalui pemulihan ingatan akan kesetabilan ekonomi dan sosial yang telah dibentuk dahulu, nostalgia berperan sebagai benteng perlindungan serta peneguh jati diri politik bagi mereka yang ingin kembali kepada periode itu.

Sejumlah tokoh politik kerap kali memakai sentimen nostalgia dalam strategi kampanyenya demi mendapatkan dukungan masyarakat. Mereka menyudutkan kesedihan atas hilangnya era lampau untuk menciptakan cerita bahwa kondisi tenang yang sempat ada selama Orde Baru patut dikembalikan lagi. Nostalgia juga dimanfaatkan menjadi dasar legitimasi bagi keputusan-keputusan dengan ciri otonomi yang lebih sedikit serta kontrol pusat yang kuat, dilihat sebagai solusi agar negara dapat kembali kepada jalan menuju ketentraman. Melalui penggambaran zaman Orde Baru sebagai periode yang lebih tertib dan progresif secara ekonomi, para pejabat berupaya merangsangkan emosi nostalgianya sehingga bisa menjaring simpati publik. Perumpamaan tersebut bertujuan untuk meyakinkan bahwasanya masa silam yang damai semacam era Orde Baru mestinya digunakan sebagai pedoman guna menghadapi dilema-dilema politik dan finansial yang tengah dihadapi hari ini.

Jangan Terjebak Nostalgi(l)a

Akhirnya, harus menjadi sorotan bagi kita semuanya bahwa politik nostalgiamenutupi kerumitan masa lalu. Di Indonesia, politik ini acapkali membuat kabur fakta bahwa walaupun Orde Baru membawa ketentraman dalam bidang politik, hal tersebut juga berdiri diatas pelanggaran HAM serta pengekangan kebebasan rakyat. Selain itu, adanya politik nostalgic pula dapat memperteguh cerita-cerita keliru yang menjauhi keniscayaan sejarah. Bahkan lebih buruk lagi, kapabilitas kami mencari cara tepat untuk merespon persoalan-persoalan masyarakat modern pun bisa tersendat gara-gara terlena dengan bayangkan masa lampau yang tidak benar. Hindarkan dirimu dari jebakan nostalgi(a)!

Lebih baru Lebih lama