Bisa Dipegang, Awan? Ini 5 Fakta Penting yang Harus Kamu Ketahui

Kamu mungkin pernah memandang langit, lalu muncul rasa ingin menyentuh awan . Warna putihnya yang lembut, bentuknya yang tampak ringan, dan gerakannya yang tenang sering menimbulkan kesan bahwa awan bisa dipegang layaknya kapas. Namun, benarkah kesan tersebut sesuai dengan kenyataan yang dijelaskan oleh ilmu pengetahuan?

Pertanyaan apakah awan bisa dipegang bukan sekadar rasa penasaran biasa, melainkan menyangkut proses fisika dan kimia atmosfer yang kompleks. Awan tidak hanya terbentuk begitu saja, melainkan melalui tahapan perubahan zat dari air menjadi uap lalu kembali menjadi cair, bahkan es. Mari, simak penjelasan ilmiah lengkap tentang fenomena ini! Simak sampai akhir agar pengetahuanmu tentang alam makin luas, ya.

1. Awan tersusun dari tetesan air yang sangat kecil

Pembentukan awan bermula dari proses penguapan air yang ada di permukaan Bumi, seperti dari danau, sungai, laut, bahkan tanah yang lembap. Ketika air mengalami pemanasan oleh matahari, molekul-molekul air tadi berubah wujud menjadi uap air tak kasatmata dan naik ke atmosfer. Uap air tersebut akan mengalami pendinginan seiring bertambahnya ketinggian, lalu mengalami kondensasi dan berubah kembali menjadi cair dalam bentuk tetesan mikroskopis.

Tetesan air ini sangat kecil, biasanya berdiameter sekitar 0,02 milimeter. Jumlahnya pun bisa mencapai jutaan dalam satu awan. Walau tampak padat, sebenarnya awan sangat ringan karena terdiri dari tetesan yang tersebar di ruang yang luas. Itulah mengapa manusia tidak bisa menyentuh atau berdiri di atas awan seperti berdiri di atas benda padat.

2. Kabut adalah awan yang turun ke permukaan tanah

Fenomena kabut sesungguhnya adalah awan. Hanya saja, letaknya lebih rendah dan kabut bersentuhan langsung dengan permukaan tanah. Saat kamu berjalan menembus kabut, tubuhmu dikelilingi oleh uap air yang telah terkondensasi. Namun, kamu tidak merasakan adanya tekanan atau massa yang signifikan ketika berjalan melaluinya. Hal ini menunjukkan bahwa tetesan air dalam kabut maupun awan terlalu kecil dan ringan untuk memberi sensasi seperti menyentuh benda padat.

Kabut sering terbentuk pada pagi hari ketika suhu permukaan menurun drastis dan kelembapan udara sangat tinggi. Perbedaan suhu ini menyebabkan uap air di udara mengalami kondensasi secara langsung di permukaan. Meski terlihat seperti bisa digenggam, sebenarnya yang kamu rasakan hanyalah kelembapan dan suhu dingin akibat uap air yang membasahi kulit.

3. Awan tidak bisa menopang berat karena bukan benda padat

Awan sering digambarkan seperti bantal empuk di langit. Namun, dari sudut pandang fisika, awan tidak bisa dianggap sebagai benda padat yang memiliki kekuatan struktural sebab berat badan manusia tidak mungkin ditopang oleh partikel-partikel air mikroskopis yang tersebar. Bahkan, jika kamu bisa berada di ketinggian tempat awan terbentuk, tubuhmu akan langsung jatuh menembusnya karena tidak ada permukaan nyata yang bisa menopangmu.

Selain itu, awan juga terus berubah bentuk karena dipengaruhi oleh arus udara dan suhu lingkungan. Komposisinya yang rapuh dan tidak stabil membuat awan selalu dalam kondisi berubah, baik bentuk, lokasi, maupun volumenya. Oleh karena itu, mustahil untuk menyentuh awan seperti menyentuh benda padat. Itu karena secara struktur, ia tidak memiliki massa atau kekuatan penahan yang cukup.

4. Proses pembentukan kristal es di dalam awan bersifat dinamis

Pada lapisan atmosfer yang lebih tinggi dan pada suhu yang lebih rendah, sebagian tetesan air dalam awan bisa berubah menjadi kristal es. Proses ini disebut sebagai deposisi, yaitu perubahan langsung dari uap air menjadi bentuk padat tanpa melalui fase cair terlebih dahulu. Kristal-kristal es ini kemudian bertumbuh ketika uap air di sekitarnya terus menempel dan membeku, menciptakan struktur bercabang seperti kepingan salju.

Meski kristal es memiliki bentuk yang lebih padat, jumlah dan ukuran masing-masing kristal terlalu kecil untuk bisa dijadikan dasar pijakan. Bahkan, ketika kristal salju jatuh ke Bumi, mereka tetap ringan dan mudah hancur saat disentuh. Fakta ini menambah alasan ilmiah mengapa awan tidak bisa dipegang. Ia bukan hanya terdiri dari cairan, tetapi juga partikel padat yang rapuh dan ringan.

5. Konsentrasi partikel dan polutan memengaruhi kepadatan awan

Jumlah tetesan air dalam awan sebenarnya bergantung pada keberadaan inti kondensasi, yakni partikel mikroskopis, seperti debu, abu, atau polutan yang menjadi tempat menempelnya uap air. Di wilayah urban yang penuh polusi, konsentrasi inti kondensasi lebih tinggi sehingga jumlah tetesan air dalam awan juga lebih banyak. Sebaliknya, di daerah yang jauh dari aktivitas manusia, seperti samudra atau wilayah kutub, jumlah awan bisa lebih sedikit karena partikel ini sangat langka.

Meski memiliki lebih banyak tetesan, awan di daerah padat polusi tetap tidak bisa disentuh atau dipegang. Penambahan partikel hanya meningkatkan reflektivitas awan atau kemampuannya memantulkan cahaya, bukan membuatnya lebih padat atau keras. Jadi, walau tampak lebih tebal, awan tetap terdiri dari partikel-partikel yang sangat ringan dan tersebar, tidak cukup padat untuk disentuh secara nyata.

Secara ilmiah, jawaban dari apakah awan bisa dipegang adalah tidak. Meski tampak nyata seakan menggoda untuk disentuh, awan hanyalah kumpulan tetesan air atau kristal es mikroskopis yang tersebar di atmosfer. Awan tidak memiliki kepadatan yang memungkinkan interaksi fisik secara langsung, seperti halnya seperti saat kita menyentuh benda padat. Jadi, meski awan terlihat memikat di langit biru, menyentuhnya tetap menjadi hal yang tidak mungkin dilakukan.

Referensi

“Can You Touch Clouds?”. WeatherWorks . Diakses Juli 2025.

“What Are Clouds? (Grades K–4)”. NASA . Diakses Juli 2025.

“What Does It Feel Like to Touch a Cloud?”. Kids News . Diakses Juli 2025.

“What Would It Feel Like to Touch a Cloud?”. Colorado Arts & Sciences Magazine . Diakses Juli 2025.

“What Would It Feel Like to Touch a Cloud?”. The Washington Post KidsPost . Diakses Juli 2025.

Kenapa Greenland Diselimuti Salju, Bukan Dataran Hijau? 5 Fakta Aneh Gerhana Matahari Total, Ternyata Bikin Hewan Ketakutan!
Lebih baru Lebih lama