Elang Hitam, Drone MALE Pertama Buatan Indonesia yang Mampu Terbang 24 Jam Non-Stop, Setara MQ-9 Reaper AS
Situs web militer dan pertahanan, DSA , beberapa waktu lalu menyoroti keberhasilan Indonesia dalam mengembangkan teknologi pesawat nirawak (drone).
Laporan tersebut menyebut kalau Indonesia kini resmi bergabung dalam kelompok negara yang memiliki kemampuan mengembangkan dan menerbangkan drone kelas Medium Altitude Long Endurance (MALE).
Hal itu dicapai melalui keberhasilan uji terbang pesawat nirawak Black Eagle, atau yang dikenal dalam bahasa Inggris sebagai Black Eagle.
"Drone berperforma tinggi ini dikembangkan sepenuhnya oleh talenta lokal Indonesia dan merupakan pencapaian signifikan dalam upaya negara ini untuk menjadi mandiri dalam pengembangan teknologi pertahanan udara masa depan," tulis laporan DSA, dikutip Selasa.
Setara MQ-9 Reaper AS
Black Hawk dirancang untuk melakukan berbagai misi strategis termasuk intelijen, pengawasan, pengintaian (ISR), patroli perbatasan dan pesisir, dan memiliki potensi untuk dipersenjatai di masa depan untuk melakukan serangan presisi tinggi.
Dengan kemampuan terbang hingga 20.000 kaki di atas permukaan bumi selama lebih dari 24 jam tanpa henti, Black Hawk termasuk dalam kategori drone yang sama dengan MQ-9 Reaper (Amerika Serikat), Bayraktar Akinci (Turki), dan Heron TP (Israel).
Mengutip pernyataan Mohammad Arif Faisal, Direktur Pemasaran, Teknologi, dan Pengembangan Dirgantara Indonesia (IAe) atau PT Dirgantara Indonesia, DSA melaporkan kalau keberhasilan uji terbang ini bukan sekadar pencapaian teknis.
"Ini bukan sekadar uji terbang. Ini bukti nyata bahwa Indonesia kini mampu mengembangkan drone strategis menggunakan teknologi buatan dalam negeri," kata Faisal dilansir DSA .

Sepenuhnya Karya Lokal
Uji terbang perdana Elang Hitam dilakukan pada 28 Juli di Bandara Internasional Jawa Barat yang berlokasi di Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
Drone ini merupakan hasil kolaborasi strategis antara berbagai lembaga nasional di bawah konsorsium yang dipimpin oleh IAe, dengan keterlibatan dari Kementerian Pertahanan Indonesia, Angkatan Udara Indonesia (TNI-AU), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Seluruh desain konsep, pengembangan prototipe, integrasi sistem kendali dan komunikasi otomatis, serta uji terbang drone ini dilakukan sepenuhnya oleh para insinyur dan ahli lokal Indonesia.
Dari perspektif teknis, Black Eagle dilengkapi dengan sistem kontrol penerbangan otomatis, sistem komunikasi jarak jauh, dan arsitektur terbuka yang memungkinkannya ditingkatkan atau disesuaikan dengan kebutuhan masa depan, termasuk pemasangan senjata tambahan atau sistem penginderaan.
Fitur-fitur ini menunjukkan bahwa Black Eagle bukan sekadar prototipe, tetapi platform UAV strategis skala penuh yang dapat diadaptasi untuk berbagai kebutuhan pertahanan nasional.
Keberhasilan ini juga menandai perubahan besar dalam lanskap kekuatan udara Asia Tenggara, dengan Indonesia kini muncul sebagai kekuatan baru yang mampu mengembangkan teknologi UAV strategis secara mandiri, sejalan dengan negara-negara besar lainnya seperti Amerika Serikat, Cina, Turki, dan India.
"Uji terbang yang sukses ini menjadikan Elang Hitam sebagai simbol kesiapan Indonesia untuk sejajar dengan negara-negara maju dalam penguasaan teknologi drone militer masa depan," imbuh Arif.

Kurangi Ketergantungan Impor
Selain sebagai pencapaian teknis, proyek ini juga sejalan dengan strategi Kekuatan Pokok Minimum (MEF) Indonesia yang bertujuan memodernisasi Tentara Nasional Indonesia sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap aset pertahanan impor.
Elang Hitam diperkirakan akan melalui beberapa tahapan lagi berupa uji terbang, validasi teknis, dan proses sertifikasi menyeluruh sebelum secara resmi diserap ke dalam inventaris TNI-AU atau dimulai produksi massal untuk keperluan operasional dan ekspor.
Dengan meningkatnya permintaan regional untuk drone MALE berkemampuan tinggi, ada kemungkinan bahwa Black Eagle akan menjadi salah satu ekspor strategis Indonesia yang menargetkan pasar Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika di masa mendatang.
"Analis pertahanan memperkirakan varian Black Hawk di masa mendatang akan dilengkapi dengan sistem persenjataan seperti rudal berpemandu laser atau berpemandu GPS, yang menjadikannya pesawat tanpa awak tempur (UCAV) yang mampu melakukan serangan presisi terhadap target bernilai tinggi," kata laporan DSA.
Di era peperangan modern yang semakin bergantung pada sistem tanpa awak dan serangan jarak jauh, pengembangan Elang Hitam merupakan perubahan paradigma dalam pendekatan kekuatan udara Indonesia—dari sekadar pengguna teknologi menjadi pengembang dan produsen sistem senjata udara strategis.
Secara keseluruhan, Elang Hitam bukan sekadar pesawat tanpa awak, tetapi juga simbol ambisi dan kemampuan Indonesia untuk memimpin transformasi teknologi pertahanan di Asia Tenggara dan memperkuat posisi geostrategisnya dalam lingkungan regional yang semakin kompleks.
Drone MALE Buatan Lokal di Asia Tenggara
Beberapa negara di Asia Tenggara telah memulai pengembangan lokal drone Medium Altitude Long Endurance (MALE) sebagai bagian dari upaya memperkuat basis industri pertahanan masing-masing dan mengurangi ketergantungan pada pemasok asing.
Langkah ini mencerminkan pergeseran strategis menuju otonomi otonom dalam teknologi pesawat tak berawak (UAV), yang semakin penting dalam konteks keamanan regional.
Di Malaysia misalnua, mereka memiliki seri drone Aludra
Upaya pengembangan UAV lokal Malaysia dimulai sejak tahun 2008 dengan drone Aludra Mk1, yang dirancang oleh perusahaan CTRM, yang sekarang berada di bawah DefTech.
Aludra Mk1 digunakan secara operasional selama Ops Daulat di Lahad Datu, Sabah pada tahun 2013, menunjukkan kemampuan lokal dalam produksi UAV bahkan dalam kategori taktis.
Meskipun desain Aludra asli tidak termasuk dalam kategori MALE, beberapa varian canggihnya seperti Aludra Mk2, Mk5, Camar, SR-10 dan EE telah memperkenalkan fitur-fitur seperti durasi penerbangan yang lebih lama dan peningkatan kemampuan ISR (Intelijen, Pengawasan, dan Pengintaian).
Namun, Malaysia belum mengembangkan atau mengoperasikan UAV lokal yang benar-benar memenuhi spesifikasi MALE dan terus bergantung pada sistem impor seperti ScanEagle 2, Schiebel S-100 Camcopter, dan Anka-S buatan Turki.
Di Thailand, mereka memiliki drone Sky Scout.
"Angkatan Udara Kerajaan Thailand (RTAF) telah mengambil langkah kecil dalam pengembangan UAV lokal dengan mengembangkan varian bersenjata dari drone Sky Scout U1, yang awalnya dirancang sebagai sistem ringan," kata laporan itu.
Meskipun Sky Scout belum diklasifikasikan sebagai drone MALE, perkembangan ini menunjukkan aspirasi Thailand untuk memajukan produksi drone lokal untuk penggunaan taktis dan pengawasan.
Menurut laporan Aviation Week , upaya ini menunjukkan komitmen Thailand untuk membangun kemampuan lokal, meskipun skala pengembangannya masih terbatas saat ini.
Adapun di Filipina, fokus UAV lebih pada pengembangan platform kecil untuk keperluan sipil dan operasi pencarian dan penyelamatan (SAR).
Contohnya adalah proyek ICARUS, sebuah drone quadcopter yang dikembangkan oleh tim universitas untuk keperluan SAR, namun hingga kini belum ada inisiatif nyata untuk mengembangkan drone MALE di dalam negeri.
(oln/dsa/*)