
, Jakarta - Perusahaan induk Google , Alphabet, resmi memisahkan proyek Taara dari laboratorium inovasi X Lab dan menjadikannya perusahaan mandiri. Taara hadir sebagai pesaing baru dalam industri konektivitas internet global dengan pendekatan berbeda dari layanan satelit seperti Starlink milik Elon Musk.
Jika Starlink memanfaatkan konstelasi satelit di orbit rendah Bumi, Taara mengandalkan teknologi Free Space Optical Communication (FSOC). Sistem ini memancarkan sinyal internet berkecepatan tinggi melalui sinar laser tak kasat mata. Langkah ini menjadi inovasi anyar Alphabet untuk mendorong solusi internet nontradisional setelah sebelumnya menutup proyek balon internet Project Loon pada 2021.
Kini, sebagai entitas independen, Taara memiliki peluang lebih luas untuk memperoleh investasi eksternal dan memperluas operasi secara agresif. Taara telah mendapatkan dukungan pendanaan dari Series X Capital, sementara Alphabet masih mempertahankan kepemilikan saham minoritas.
Taara, yang kini dipimpin oleh CEO Mahesh Krishnaswamy, menargetkan 3 miliar orang di seluruh dunia, termasuk 860 juta orang di Afrika yang belum memiliki akses internet yang andal. Perusahaan ini akan bersaing langsung dengan Starlink dan telah mengumpulkan lebih dari 5 juta pelanggan di 125 negara.
“Kami memiliki seperangkat cermin canggih yang mencari sinyal cahaya ini, dan begitu mereka menemukannya, mereka langsung menguncinya,” kata Mahesh saat menjelaskan tentang Taara di podcast Google’s Moonshot pada Senin, 17 Maret 2025, seperti yang dilansir dari Techcabal.com .
Apa Itu Taara dan Bagaimana Cara Kerjanya?
Berbeda dengan Starlink yang mengandalkan jaringan besar satelit di orbit rendah Bumi, Taara menggunakan teknologi komunikasi optik ruang bebas (FSOC). Sistem FSOC mentransmisikan data melalui sinar laser tak terlihat yang melintasi atmosfer, menciptakan koneksi internet ultra-cepat tanpa memerlukan kabel serat optik yang mahal.
Dengan kecepatan hingga 20 Gbps dalam jarak maksimal 20 kilometer, Taara bertujuan memberikan konektivitas berkecepatan tinggi ke wilayah yang kurang terlayani dan terpencil.
Meski teknologi internet berbasis laser sudah ada sejak beberapa tahun lalu, kemajuan yang dibawa oleh Taara membuat teknologi ini semakin layak digunakan, karena mampu mengatasi tantangan utama seperti gangguan akibat cuaca. Terminal cerdasnya, misalnya, menggunakan sensor dan algoritma untuk menyesuaikan posisi secara real-time demi menjaga koneksi tetap stabil dan andal.
Perangkat terminal pintar milik Taara dilengkapi sensor dan algoritma AI yang memungkinkan penyesuaian posisi secara real-time untuk menjaga kestabilan sinyal walau menghadapi gangguan seperti kabut, hujan, atau hambatan visual lainnya.
Dalam uji coba di India dan Afrika, Taara terbukti mampu menjembatani koneksi antarbangunan dan bahkan menghubungkan dua ibu kota negara yang dipisahkan Sungai Kongo, Kinshasa, dan Brazzaville tanpa perlu infrastruktur bawah air.
Meski sama-sama menargetkan wilayah terpencil, pendekatan Taara dan Starlink berbeda secara fundamental. Starlink mengandalkan satelit dan spektrum radio, sementara Taara membangun konektivitas berbasis darat dengan laser.
Namun Taara juga punya keterbatasan. Dilansir dari Forbes , tantangan yang ada seperti kebutuhan akan garis pandang langsung antar terminal dan sensitivitas terhadap cuaca. Kendati demikian, kemunculan Taara menunjukkan persaingan dengan Starlink.
Dengan kemunculan Taara sebagai perusahaan independen, lanskap konektivitas internet nontradisional terus berkembang. Meskipun Starlink memimpin dengan jaringan berbasis satelitnya, persaingan kini semakin ketat.
Di Eropa, misalnya, Eutelsat OneWeb juga muncul sebagai penantang utama. Perusahaan ini berupaya memperluas kehadirannya di Ukraina sebagai alternatif Starlink, mengingat ketegangan geopolitik dan ketidakpastian terhadap keberlangsungan layanan Starlink di wilayah tersebut.