
Ngobrol sambil makan bersama dalam satu keluarga di rumah, yakni suami istri dan semua anak-anaknya makan bareng di meja makan, diyakini sangat besar manfaatnya bagi kesehatan fisik dan mental.
Makan bersama membuat orangtua dapat tetap mengawasi anak secara tidak langsung melalui percakapan santai di meja makan.
Ayah dan Ibu dapat memonitor suasana hati anak-anaknya, perilaku, dan aktivitasnya bersama teman-teman sekolah atau kuliahnya.
Apa yang menggembirakan dan apa yang menjadi beban pikiran masing-masing anak, bisa terungkap sambil makan bareng.
Antar suami istri pun juga bisa saling bertukar pikiran. Istri boleh saja curhat tentang berbagai hal, termasuk soal kenaikan harga bahan pokok.
Suami pun bisa bercerita apa kendala yang dihadapinya dalam pekerjaan, bagaimana kesibukannya di kantor, dan sebagainya.
Dengan demikian, selain tercipta keakraban dalam keluarga, juga akan tercipta rasa saling mendukung. Ini termasuk support system yang baik.
Jadi, makan bersama keluarga bukan sekadar masalah makanan dan nutrisi. Bukan sekadar perut kenyang setelah makan enak.
Banyak elemen sosial yang terbentuk ketika keluarga saling berbagi cerita saat makan, seperti yang ditulis Miriam Weinstein dalam buku The Surprising Power of Family Meals.
Ruang makan bisa menjadi lingkungan yang baik di mana anak berbicara dengan mempraktikkan sopan santun, dan belajar melayani anggota keluarga yang lain.
Selain itu, anak juga belajar mendengarkan dan memecahkan masalah, serta membangun rasa memiliki sebagai keluarga yang utuh.
Tapi, semua manfaat di atas lebih sering terjadi di masa lalu. Sejak teknologi informasi semakin maju, banyak orang "dijajah" oleh gawainya sendiri.
Gawai pulalah yang membuat sangat jarang sekarang orang-orang saling becerita di meja makan. Justru, saat ini gawai jadi satu-satunya sumber cerita.
Memang, penggunaan gawai yang meluas kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, bahkan termasuk bagi anak balita.
Banyak pengguna yang sepertinya sulit berpisah sejenak dari gawai mereka, meski sedang melakukan aktivitas lain, seperti saat makan bareng orang lain.
Jangan heran melihat sebagian orang yang memilih terus beraktivitas dengan gawainya sambil makan. Hal ini biasanya dilakukan secara sengaja karena beberapa alasan tertentu.
Alasan tersebut mulai dari komunikasi pekerjaan yang cukup padat, hingga alasan menjadi media hiburan yang cocok dilakukan sambil makan.
Dikutip dari laman Mens Health, seseorang yang sedang makan sambil bermain gawai cenderung akan makan lebih banyak dan lebih lama.
Hal itu terjadi karena fokus saat makan akan terdistraksi dengan aktivitas bermain gawai, seperti membaca pesan, menonton video, main game, atau aktivitas lain melalui media sosial.
Selain itu, menurut penelitian yang dipublikasikan oleh Trends in Food Science & Technology, makan sambil main gawai akan menganggu sinyal kenyang dari otak ke perut.
Akibatnya, bagi mereka yang melakukan hal itu akan sulit mengatur berapa banyak makanan yang sedang dikonsumsinya.
Kompas.com 16/6/2024 menuliskan bahwa jika seseorang tidak fokus pada makanan, otak akan kurang mampu mencatat jumlah makanan yang dikonsumsi.
Makanya, makan sambil bermain gawai cenderung memicu obesitas. Ini terjadi karena saat seseorang tidak fokus pada makanan, biasanya cenderung mengonsumsi berlebihan.
Nah, kalau budaya ngobrol sambil makan bisa kembali dihidupkan, tentu akan bagus untuk bersosialisasi.
Tapi, perlu diingat agar kita tetap harus makan dengan berkesadaran. Jangan karena keasyikan ngobrol, jadi banyak makan.