Apa jadinya jika kecerdasan dijadikan alat tawar di tengah sistem pendidikan yang timpang? Bad Genius , remake Hollywood dari film Thailand sukses tahun 2017, menjawabnya lewat kisah penuh intrik dan tekanan sosial. Lewat tangan J.C. Lee, film yang tayang di bioskop Indonesia pada bulan Juli 2025 ini menyatukan kritik sosial dan dunia sekolah elite dalam kisah yang penuh ketegangan serta intrik.
Dibintangi Callina Liang, Jabari Banks, dan Benedict Wong, film ini membawa penonton ke dunia siswa-siswa jenius yang dipaksa melawan sistem dengan cara mereka sendiri. Kira-kira, seberani apa film ini mengulik ketimpangan pendidikan di balik seragam elite? Mari simak ulasan lengkapnya di bawah ini, Bela!
Sinopsis film 'Bad Genius'
Dibuka di kota Seattle, Bad Genius mengikuti Lynn Kang (Callina Liang), siswi keturunan Asia-Amerika yang menerima beasiswa di Exton Pacific, sekolah elite yang dikenal mencetak para genius. Di bawah tekanan biaya pendidikan tinggi dan ekspektasi sosial, Lynn awalnya hanya membantu temannya mencontek di ujian sekolah. Tapi strategi kecil itu berkembang menjadi operasi berskala besar untuk membantu murid-murid kaya menembus SAT—ujian penting penentu masa depan.
Lynn lalu merekrut Bank Adedamola (Jabari Banks), sesama siswa jenius dari keluarga imigran Nigeria yang hidup dalam tekanan status hukum dan ekonomi. Dengan kecerdasan luar biasa dan kode rahasia unik, mereka menjalankan sistem kecurangan akademik paling canggih. Namun, saat uang, identitas, dan masa depan jadi taruhan, rencana itu tak lagi sekadar tentang nilai—tapi tentang siapa yang benar-benar punya kendali atas nasib mereka.
Dari ujian ke perang kelas sosial
Yang membuat Bad Genius garapan J.C. Lee terasa lebih dari sekadar remake adalah sentuhan politik rasial yang,—meski tak selalu eksplisit— tetap terasa kuat. Saat Lynn diundang makan malam ke rumah keluarga teman kulit putihnya, lalu ditawari membantu anak mereka masuk Columbia, terlihat jelas bahwa keberadaan Lynn bukan karena pertemanan, melainkan karena fungsinya.
Film berdurasi 96 menit ini memang enggan menyebut kata “white” secara langsung, tapi kontras ras dan kelas begitu mencolok. Kritik terhadap sistem pendidikan Amerika yang bias pun muncul, khususnya tentang bagaimana Asian-American sering dijadikan alat dalam perdebatan affirmative action , namun tetap tidak sepenuhnya diuntungkan.
Di balik sistem yang gagal, ada anak-anak yang berjuang
Lewat karakter Lynn dan Bank, film yang mengangkat genre drama thriller ini memperlihatkan bagaimana sistem meritokrasi yang katanya adil justru mendorong ketidaksetaraan. Keduanya bukan curang karena tidak mampu, melainkan karena tahu mereka tertinggal dalam perlombaan yang aturannya ditulis untuk orang lain. Mereka harus bekerja dua kali lebih keras hanya demi menembus peluang yang sejak awal tidak mereka miliki.
Situasi Lynn sebagai pemegang beasiswa dan Bank sebagai imigran ilegal membuat perjuangan mereka terasa lebih kompleks. Bad Genius mengajak kita bertanya, adilkah masa depan ditentukan oleh satu kali ujian, sementara tidak semua orang memulai dari garis start yang sama?
Soroti hubungan ayah dan anak
Callina Liang memerankan Lynn dengan ketenangan yang tajam, cocok untuk karakter siswa jenius yang penuh perhitungan. Meski begitu, beberapa adegan emosional terasa belum sepenuhnya menyentuh. Sebaliknya, Jabari Banks sebagai Bank tampil lebih lepas dan ekspresif, terutama saat harus menghadapi tekanan dari latar belakang keluarganya yang rumit.
Namun yang paling mencuri perhatian tetap Benedict Wong sebagai ayah Lynn. Dengan durasi tampil yang cukup signifikan, ia berhasil membangun sosok ayah yang penuh kehangatan dan kedalaman emosional—sebuah kontras yang penting di tengah cerita yang dipenuhi tekanan akademik dan moral.
Antara thriller cerdas dan teen drama
Bad Genius memang tidak seintens versi orisinalnya, namun tetap berhasil menyuguhkan ketegangan, kecerdikan, dan keresahan khas generasi muda dalam menghadapi sistem pendidikan yang timpang. Beberapa bagian terasa melodramatis dan kehilangan ketegangan khas “ heist ” ujian, namun elemen seperti kode rahasia, strategi licik, hingga penyelundupan ponsel tetap memberi momen seru yang menghibur.
Tak hanya berkisah tentang menyontek, film ini menyentil isu privilege , tekanan sosial, dan definisi kecerdasan dalam sistem yang tak selalu adil. Dukungan sinematografi yang tajam dan penuh ketegangan—terutama di adegan ujian—ikut memperkuat nuansa tekanan dan konflik batin para karakternya. Dengan gaya visual yang sleek dan tema yang relevan, Bad Genius versi Hollywood tetap jadi tontonan yang layak untuk kamu yang suka drama sekolah dengan sentuhan kritik sosial yang tajam namun tetap ringan dinikmati, Bela!
Review ‘Noise’: Saat Cerita Sederhana Sanggup Bikin Kita Terpana Review 'Ejen Ali: The Movie 2': Visual Ciamik, Konflik Makin Kompleks Review ‘F1: The Movie': Kisah Epik dengan Sinematografi Ciamik