Ironi Satgas Penertiban Hutan

  • Prabowo Gelar Rapat Mendadak di Hambalang Bahas Hutan dan Tambang Ilegal
  • Janji Manis Digitalisasi Hutan Pak Menteri
  • KLH: Kebakaran Hutan dan Lahan Hanguskan Lebih dari 11.000 Hektare

Dalam pidato kenegaraan pada 15 Agustus 2025 lalu, Presiden Prabowo menyatakan bahwa negara telah mengambil alih 3,1 juta hektare sawit ilegal dalam kawasan hutan. Namun penguasaan kembali sawit ilegal atas nama penertiban kawasan hutan ini dilakukan dengan serampangan, dan diperparah dengan penyerahan seluas 1 juta hektare (Ha) kepada PT Agrinas Palma Nusantara pada Rabu, 9 Juli 2025 lalu, tanpa diketahui dasar hukum apa yang menjadi pijakannya.

Prosesi penyerahan lahan itu terkesan heroik. Inilah ironi Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan (PKH). Di balik narasi penertiban, tersembunyi praktik pemutihan kejahatan kehutanan yang telah berlangsung lama. Penertiban kawasan hutan menggeser kejahatan yang sebelumnya dilakukan oleh perusahaan yang difasilitasi negara, ke kejahatan yang dilakukan secara langsung oleh negara.

Dari temuan WALHI di sepuluh provinsi, seluruh proses penertiban kawasan hutan justru menimbulkan masalah baru dan tidak menjawab pemulihan ekologi dan pemulihan hak rakyat sebagai substansi utama. Di berbagai daerah, proses penertiban tak menyentuh akar persoalan.

Alih-alih menghentikan eksploitasi, melakukan penertiban secara selektif dengan menyasar lahan-lahan masyarakat kecil dan petani sawit yang justru selama ini menjadi korban dari konflik tenurial berkepanjangan. Sebaliknya, perusahaan besar yang telah mencaplok ratusan ribu hektare kawasan hutan secara ilegal justru memperoleh legitimasi baru melalui jalur “penertiban.”

Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran bentuk kejahatan kehutanan. Jika sebelumnya negara berperan sebagai fasilitator pelanggaran oleh swasta, kini negara justru tampil sebagai pelaku langsung.

Kondisi ini semakin diperparah dengan pendekatan militeristik yang diterapkan dalam pelaksanaan PKH. Pelibatan TNI dan Polri dalam satuan tugas penertiban tak hanya mengaburkan batas antara penegakan hukum dan tindakan represif, tetapi juga membuka peluang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.

Di sejumlah lokasi, masyarakat dipungut biaya atau dipaksa menyerahkan lahan mereka dengan ancaman kekerasan. Ini adalah bentuk kriminalisasi terhadap rakyat yang mempertahankan hak atas ruang hidupnya sendiri. Negara, yang seharusnya menjadi pelindung, justru tampil sebagai kekuatan yang menindas.

Masalah terbesar dari PKH bukan hanya soal legalitas, tetapi juga absennya agenda pemulihan ekologis dan restitusi hak. Tidak ada jaminan bahwa kawasan yang “ditertibkan” akan dipulihkan secara ekologis, apalagi dikembalikan kepada masyarakat adat dan komunitas lokal yang memiliki sejarah panjang sebagai penjaga hutan. Negara lebih sibuk mengatur ulang peta penguasaan hutan tanpa memikirkan keadilan. Di tengah krisis iklim dan kerusakan ekosistem yang kian parah, pendekatan semacam ini adalah kemunduran besar.

Situasi ini menuntut perubahan paradigma dalam kebijakan kehutanan. Negara harus kembali pada esensi perlindungan dan pemulihan, bukan melanggengkan eksploitasi. Solusi sejati atas konflik kawasan hutan adalah pengakuan terhadap hak masyarakat adat dan komunitas lokal, distribusi lahan secara adil, serta pembangunan model pengelolaan hutan berbasis komunitas. Fakta-fakta di lapangan sudah menunjukkan bahwa masyarakat adat dan komunitas lokal mampu merawat hutan jauh lebih baik dibandingkan korporasi atau negara. Jika negara serius ingin menyelesaikan konflik dan menjaga kelestarian lingkungan, maka kepercayaan harus diberikan kepada rakyat.

Satgas PKH dibentuk pada 4 Februari 2025 melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Satgas Penertiban Kawasan Hutan. Pemerintah menargetkan penguasaan kembali total 3 juta hektare kawasan hutan hingga Agustus 2025, yang terdiri dari lahan sawit, kawasan taman nasional, hutan tanaman industri (HTI), dan kewajiban plasma.

Lahan yang telah dikuasai kembali akan diserahkan kepada kementerian teknis untuk dilakukan penilaian. Lahan dengan nilai ekonomis akan dikelola oleh PT Agrinas Palma Nusantara di bawah koordinasi Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN dengan klaim mendukung kesejahteraan masyarakat.

Penertiban kawasan hutan dalam bentuk yang dijalankan saat ini bukan jawaban, melainkan masalah baru yang akan terus memperpanjang daftar luka ekologis dan sosial di negeri ini. Pemulihan tidak akan pernah hadir jika negara terus mengedepankan logika kekuasaan dan penguasaan. Apa yang kita butuhkan hari ini adalah keberanian untuk menempatkan keadilan ekologis di atas kepentingan korporasi dan aparat birokrasi. Hutan bukan hanya soal pohon dan tanah, tetapi tentang kehidupan, sejarah, dan masa depan bersama.

Persoalan Satgas PKH ini sejatinya mencerminkan sengkarut tata kelola kehutanan nasional yang tidak kunjung selesai. Dari waktu ke waktu, berbagai konflik agraria, perambahan hutan, dan tumpang tindih perizinan terus berulang, seolah tidak pernah ada niat politik yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikannya secara struktural.

Semua sengkarut tata kelola hutan terjadi karena kerangka hukum kehutanan yang sudah usang. Undang-Undang Kehutanan yang saat ini berlaku tidak lagi mampu menjawab kompleksitas dan dinamika sosial-ekologis masa kini. Revisi parsial hanya menambal lubang sementara.

Yang dibutuhkan adalah keberanian politik untuk merumuskan undang-undang kehutanan yang benar-benar baru—sebuah fondasi hukum yang berpijak pada keadilan ekologis, hak masyarakat adat, dan perlindungan jangka panjang terhadap hutan sebagai sistem kehidupan.

Lebih baru Lebih lama