KABAR CIREBON - Beberapa bukit di wilayah Bandung Raya, seringkali mendapat sebutan gunung. Seperti bukit di wilayah Cikancung dikenal sebagai Gunung Pangradinan. Demikian juga bukit di Rajamandala Kulon dinamai Gunung Dipati Ukur.
Mungkin banyak yang kaget kok ada ya nama Gunung Dipati Ukur. Selama ini Dipati Ukur di Kota Bandung dikenal sebagai nama jalan, lokasi kampus Universitas Padjadjaran (Unpad).
Dalam sejarah, Dipati Ukur adalah seorang bangsawan Sunda yang hidup pada abad ke-17. Dia dikenal sebagai tokoh pemberontak yang menentang kekuasaan Kesultanan Mataram dan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie).
Gunung Dipati Ukur akan ditemui oleh wisatawan yang hendak berkunjung ke situs Danau Purba Sanghyang Heuleut. Khususnya, wisatawan yang mengambil jalur dari Pos Batu Aki.
Wisatawan yang penggemar tantangan, pasti memilih jalur Batu Aki sebelum menuju Danau Purba Sanghyang Heuleut. Jalur ini menawarkan keindahan alam, berupa bukit dan lembah yang masih hijau.
Perlu diketahui, Gunung Dipati Ukur masih berada di kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Saguling, Desa Rajamandala Kulon, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat.
Sebelum melakukan perjalanan, wisatawan dikenakan tiket seharga Rp15 ribu. Di Pos Batu Aki, tersedia lahan parkir yang luas, baik untuk motor maupun mobil.
Di sana tersedia fasilitas toilet, mushola, dan sejumlah warung yang menyediakan makanan dan minuman. Ada baiknya, wisatawan membawa perbekalan selama perjalanan.
Keberadaan Gunung Dipati Ukur mengundang rasa penasaran anggota Komunitas Backpacker Bandung Raya (Barraya), pimpinan Hendra Bintang.
Bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2025, Hendra Bintang membawa sejumlah anggota Barraya melakukan pendakian Gunung Dipati Ukur yang memiliki ketinggian 1.200 mdpl.
Hendra Bintang mengatakan, sebelum mendaki Gunung Dipati Ukur, anggota Barraya secara berturut-turut melakukan pendakian di Puncak Mega Gunung Puntang, Gunung Pangradinan, dan terakhir Gunung Merbabu.
"Pendakian Gunung Dipati Ukur terbilang dadakan. Persiapannya memang mepet. Cuma, para anggota cukup antusias mendaki lagi. Selama pendakian kita, dipandu Kang Agus," ungkap Hendra.
Hendra mengungkapkan, sebagian besar anggota Barraya yang ikut pendakian Gunung Dipati Ukur adalah perempuan. Walau begitu, mereka kuat sampai ke puncak tanpa merepotkan.
"Alhamdulillah ya, tidak ada masalah selama perjalanan. Mungkin mereka didorong rasa semangat, jadi tidak ada keluhan. Ini jadi pengalaman berharga bagi mereka," tambah Hendra.
Saat berada di puncak Gunung Dipati Ukur, anggota Barraya seperti Bu Mien, Bu Lia, Bu Damayanti, Bu Emma, dan Bu Anda meluapkan kegembiraan. Walau usia mereka di atas 50 tahun, terbilang tangguh melintas perjalanan menanjak dan menurun.
Menurut Bu Mien, perjalanan ke Gunung Dipati Ukur sebenarnya cukup menguras tenaga. Tapi semua dilakoni secara santai sehingga tak terasa pegalnya.
Hal yang sama dikatakan Bu Lia, Bu Emma, dan Bu Damayanti. Mereka tidak mengejar target, cepat-cepat mencapai puncak. "Kita jalan cukup santai. Kalau capek, ya istirahat. Nggak buru-buru," ucap Bu Emma.
Bu Damayanti dan Bu Lia pun mengaku sangat menikmati perjalanan. Di tengah perjalanan, bisa membuat konten video dan selfie dulu.
"Suasana alamnya sangat indah. Banyak lokasi yang menjadi spot foto yang bagus. Sayang kalau dilewatkan," ujar Bu Damayanti yang diiyakan Bu Lia.
Anggota Barraya yang lebih muda, seperti Yani, Manda, Icha, dan Ayu terlihat trengginas melahap rute yang curam. Walau begitu mereka tetap hati-hati ketika menghadapi kanan dan kirinya berupa jurang.
"Kayanya Gunung Dipati Ukur medannya lebih berat dari Gunung Pangradinan. Lumayan juga menguras tenaga. Kita tadi banyak istirahat," kata Yani.
Sementara Icha dan Ayu tidak merasa kesulitan melintasi medan yang menanjak dan menurun. Mereka menjalani rute ke Gunung Dipati Ukur dengan riang gembira.
"Ini perjalanan yang mengasyikan. Dapat pengalaman baru. Pokoknya seru deh. Selain melewati hutan, kita juga tadi melintasi ladang penduduk yang ditanami jagung dan cabai," tutur Ayu.***