Gubernur Jawa Barat mengenalkan Gerakan Rereongan Sapoe Saribu pada 1 Oktober 2025 dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 149/PMD.03.04/KESRA yang ditujukan kepada bupati/wali kota di seluruh Jawa Barat, kepala perangkat daerah lingkup Pemprov Jawa Barat, serta Kanwil Kementerian Agama Jawa Barat.Gerakan ini berupa penggalangan dana sebesar Rp 1.000 setiap hari dari pegawai negeri sipil (PNS), siswa sekolah, dan masyarakat, yang nantinya digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang pendidikan dan kesehatan.
Setelah pengumuman donasi sebesar Rp 1.000 per hari, muncul beberapa pertanyaan. Apakah gerakan tersebut telah memperoleh izin dalam penggalangan dana dari Kementerian Sosial? Siapa gubernur, bupati/wali kota, kepala dinas/instansi, dan Kepala Kanwil Kemenag yang bertanggung jawab atas gerakan tersebut?
Dalam surat keputusan yang dikeluarkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi tidak menyebutkan aspek legalitas Gerakan Rereongan Sapoe Saribu. Ia juga tidak merinci bagaimana struktur lembaga atau badan yang bertanggung jawab serta mengelola dana sosial tersebut, termasuk bagaimana skema penyaluran dana sosial tersebut nantinya setelah terkumpul. Padahal, dalam penggalangan dana sosial seperti Rereongan Sapoe Saribu, pemerintah telah menetapkan aturan yang jelas dan tegas melalui Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengumpulan Uang atau Barang.
Gerakan Raroengan Sapoe Saribu mendapatkan perhatian tajam dari dua anggota Komisi V DPRD Jawa Barat, yaitu Maulana Yusuf Erwinsyah dan Zaini Shofari.
Maulana menyampaikan, meskipun judulnya berupa ajakan, masyarakat yang fanatik terhadap Dedi Mulyadi akan menjadi kewajiban. Bila sebagian orang menganggapnya sebagai kewajiban, maka khawatir akan terjadi pemaksaan terhadap yang lain.
Di sisi lain, menurut Maulana, masyarakat telah terlalu berat dalam pembiayaan. Pajak, zakat, kebutuhan sehari-hari, dan sebagainya.
"Lalu mekanisme yang kompleks, memerlukan pengawasan tambahan. Mengingat banyaknya rekening baru, khawatir digunakan secara salah," kata Maulana, saat dihubungi pada Minggu 5 Oktober 2025.
Menurut Maulana, penggunaan Dana Sarebu kembali terbatas pada dana yang sudah sangat besar yang diberikan oleh pusat, yaitu pendidikan dan kesehatan.
"Khawatir jika pemerintah provinsi menggunakan alasan apa pun untuk mengganti penggunaan yang lain, seperti untuk Abdi Nagari Nganjang ka Warga. Iuran semacam ini sudah berjalan di beberapa tempat. Jadi, kesimpulannya, saya menolak adanya program seperti ini. Jangan mencemarkan kesadaran masyarakat dalam berinfak dan beramal dengan campur tangan pemerintahan," katanya.
Maulana juga mengkritik mengenai dasar hukum surat edaran yang merujuk pada Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2024 yang merupakan pengganti dari Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2021.
"Mengapa saya tidak membahas hal itu (aturan) terlebih dahulu. Lucu saja, banyak hal di Bagian Hukum pemerintah provinsi tidak mampu bergerak ketika Pak KDM meminta, termasuk ini. Jelas bahwa pemerintah daerah atau provinsi menjadi pengawas. Ketika ada surat imbauan, artinya pemerintah provinsi menjadi pelaksana," katanya.
Ia menambahkan, dasar hukum Gerakan Rereongan Sarebu hanya satu, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 mengenai Kesejahteraan Sosial. "Yang lucu, proses melegalkannya tidak dibahas sama sekali. Termasuk permen sosial tadi," katanya.
Dipaksakan
Sejalan dengan Maulana, anggota Komisi V lainnya, Zaini Shofari menyatakan bahwa ia ingin menekankan gerakan Poe Ibu ini, yaitu gerakan yang dipaksakan dengan dalih kesetiakawanan. ASN, siswa sekolah, dan masyarakat diajak untuk menyisihkan seribu.
"Jika seorang ASN pasti akan mematuhi perintah dari atasan mereka, yaitu Gubernur. Namun, ketika membicarakan siswa sekolah, setiap pengenaan biaya apa pun di sekolah dilarang, tidak boleh dilakukan. Tapi sekarang Gubernur justru mengajarkan bahkan melembagakan hal tersebut, menjadikannya legal jika itu termasuk dalam Rp 1.000, yang seolah-olah menjadi bentuk solidaritas antar sesama ada di sana," katanya.
Zaini menganggap, edaran tersebut bertentangan dengan kebijakan-kebijakan gubernur Jawa Barat sebelumnya. "Saya beri contoh lagi, di tepi jalan masyarakat meminta bantuan untuk memfasilitasi sarana keagamaan dilarang juga, tetapi tidak diberikan solusinya, sedangkan pesantren, majelis, atau lembaga keagamaan justru tidak mendapatkan bantuan hibah," katanya.
Berikut adalah beberapa variasi dari teks tersebut: 1. Menurut Zaini, Rereongan sarebu ini hanya mengacu pada PP Nomor 39/2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Namun, di sisi lain, Gubernur Jabar justru melanggar aturan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 47 Tahun 2023, di mana rombongan belajar sebanyak 36 orang dioptimalkan menjadi 48 dan maksimal 50 siswa. 2. Zaini menyatakan bahwa Rereongan sarebu ini hanya berpegang pada PP Nomor 39/2012 mengenai Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Namun, Gubernur Jabar justru bertentangan dengan aturan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 47 Tahun 2023, yang menyebutkan bahwa rombongan belajar sebanyak 36 orang dapat ditingkatkan menjadi 48 dan maksimal 50 siswa. 3. Dalam pernyataannya, Zaini menjelaskan bahwa Rereongan sarebu ini hanya merujuk pada PP Nomor 39/2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Namun, Gubernur Jabar justru melanggar ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 47 Tahun 2023, yang menetapkan bahwa rombongan belajar sebanyak 36 orang bisa ditingkatkan menjadi 48 dan maksimal 50 siswa. 4. Menurut Zaini, Rereongan sarebu ini hanya mengandalkan PP Nomor 39/2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Di sisi lain, Gubernur Jabar justru melanggar aturan yang tertulis dalam Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 47 Tahun 2023, yang menyebutkan bahwa rombongan belajar sebanyak 36 orang dapat ditingkatkan menjadi 48 dan maksimal 50 siswa. 5. Rereongan sarebu ini, menurut Zaini, hanya mengacu pada PP Nomor 39/2012 mengenai Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Namun, Gubernur Jabar justru tidak mematuhi ketentuan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 47 Tahun 2023, yang menyatakan bahwa rombongan belajar sebanyak 36 orang bisa dinaikkan menjadi 48 dan maksimal 50 siswa.
"Maka, menurut saya, model-model semacam ini tentu tidak baik dalam konteks tata kelola negara, khususnya dalam pengelolaan keuangan. Artinya adalah ketidakmampuan negara, ketidakmampuan pemerintah provinsi dalam mengelola keuangan provinsi, sehingga masyarakat terus terlibat," katanya.
Meskipun demikian, menurut Zaini, pajak apa pun yang sudah diserahkan masyarakat kepada pemerintah. "Jangan kemudian dengan alasan banyak warga yang mengadukan ke Lembur Pakuan, lalu dijadikan dasar untuk memperkuat anggapan bahwa ini bagian dari rasa persaudaraan. Masyarakat jika ada yang sakit, tetangganya pasti akan membantu, begitu juga dengan warga yang kurang mampu dan tidak makan, tetangganya pasti akan bantu," katanya.
Dana internal
Pemerintah Provinsi Jawa Barat memberikan pernyataan mengenai legalitas atau kelayakan hukum Gerakan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) yang mulai beredar sejak 1 Oktober 2025, yang merupakan pengumpulan dana internal. Selain itu, besaran dana yang dikelola tergolong kecil. Karena dua hal tersebut, Kemensos dapat memberikan pengecualian sehingga Jabar tidak perlu memiliki izin dari Kemensos.
Disebutkan oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Jawa Barat Dedi Mulyadi saat ditanya mengenai izin dari Kemensos berdasarkan Permensos 8/2021. "Gerakan Poe Ibu ini lebih merupakan dorongan gubernur untuk membangkitkan empati masyarakat. Dana yang digunakan akan dialokasikan lebih pada keadaan darurat. Oleh karena itu, tidak perlu izin dari Kemensos karena ini bersifat internal, dan penggunaan dana juga tidak terlalu besar, skala kecil," ujar Dedi yang dikonfirmasi pada Minggu, 5 Oktober 2025.
Gerakan itu, menurut Dedi, merupakan cara merespons kebutuhan masyarakat dengan dana dalam skala kecil. Hal ini dapat dikecualikan oleh Kemensos.
Ditegaskan oleh Dedi, penggalangan internal bersifat lokal di masing-masing organisasi perangkat daerah (OPD), sehingga tidak dikelola secara besar atau oleh panitia khusus yang besar.
Ini adalah gerakan murni untuk merespons kebutuhan masyarakat yang memerlukan dana secara mendesak, seperti kesehatan dan pendidikan, bahkan hukum. Jadi, bagaimana kepedulian ini diharapkan dapat membantu masyarakat yang sedang dalam kondisi darurat terkait pendidikan, pengobatan, dan biaya hukum, sehingga bisa segera ditangani oleh instansi OPD, di tingkat kabupaten/kota, desa hingga RT/RW," katanya.
Dedi menyampaikan bahwa ajakan ini bukanlah paksaan, melainkan hanya untuk mengingatkan kembali rasa empati di tengah masyarakat dan lingkungan pemerintah, mengingat ada gerakan serupa yang telah dilakukan oleh lembaga zakat maupun tingkat RT/RW dengan persembahan sedikitnya.
"Sifatnya sukarela, jangan sampai masyarakat kita juga tidak ada sanksi. Ini bersifat sukarela. Pendekatan gubernur lebih menekankan agar masyarakat memiliki rasa empati terhadap warga yang mengalami keadaan darurat dan kesulitan," katanya.
Dedi memberikan contoh, pegawai ASN di Bappeda Jawa Barat berjumlah 166 orang. Maka setiap hari, mereka menerima dana sukarela sebesar Rp 166.000 yang dikelola secara mandiri oleh Bappeda. Selanjutnya, ada petugas khusus yang mencatat dan mengumpulkannya.
Sebagai contoh, pada hari kesepuluh telah terkumpul sebesar Rp 1,6 juta. Misalnya ada warga yang membutuhkan penanganan kesehatan darurat karena belum aktif BPJS setelah kami validasi, maka dapat dibantu oleh Bappeda. Jadi, tidak ada dinas khusus seperti BPKAD, tetapi bersifat mekanisme internal di masing-masing instansi," katanya.
Menurut Kepala Bappeda Jabar, setiap OPD memiliki unit pengaduan masing-masing yang akan dilayani oleh front office sendiri. "Misalnya, ada yang kehabisan uang untuk biaya kontrakan tempat menunggu pasien operasi atau kemoterapi di RSHS, bisa menghubungi Dinas Kesehatan terdekat. Minta dana darurat untuk biaya menunggu, atau bisa juga ke Dinas Perkebunan (di Jalan Surapati)," katanya.
Mengenai verifikasi dan validasi masyarakat dalam kondisi darurat, menurut Kepala Bappeda Jabar, hal tersebut harus dilakukan secara tepat agar tidak terjadi kesalahan dalam penargetan. "Misalnya dengan melihat KTP, lalu memverifikasi kepada pihak-pihak yang terkait dalam status permasalahan tersebut. Pemeriksaan mendalam juga menjadi tugas dari FO. Selain menerima tamu serta pengaduan dan keluhan," katanya.
Dedi menambahkan, pihaknya akan melakukan evaluasi sebulan sekali terhadap program tersebut terkait efektivitas dan hasilnya.
Bukan pungli
Untuk mencegah kesalahpahaman, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa kegiatan serupa di sekolah bukanlah pemungutan dana ilegal (pungli). Donasi pada tingkat sekolah bersifat sukarela, diatur oleh bendahara kelas, dan bertujuan untuk mengembangkan rasa empati antar siswa.
"Jika ada teman sekelasnya yang sakit atau orangtuanya tidak mampu membelikan seragam, bisa diberi bantuan dari dana tersebut. Jadi, ini bukan pengumpulan uang yang terpusat dan dikelola oleh sekolah," katanya setelah menghadiri perayaan HUT TNI Ke-80 di Makodam III/Siliwangi di Jalan Aceh, Kota Bandung, Minggu, 5 Oktober 2025.
Pos pelayanan ini, menurutnya, akan beroperasi setiap hari kerja, Senin sampai Jumat, mulai pukul 7.00 hingga 16.00. Gubernur Jabar secara tegas membatasi layanan hanya pada tiga isu sosial tersebut.
"Kami tidak akan mengurus masalah lain. Misalnya, ada yang meminta agar utang ke bank emok dibayarkan, hal itu tidak akan kami tangani. Ini dilakukan agar tetap fokus pada program," katanya.
Melalui program donasi sukarela sebesar Rp 1.000, Gubernur Jawa Barat menetapkan tiga isu sosial yang paling mendesak. Pertama, warga yang sakit tetapi tidak mendapatkan layanan, kedua adalah anak-anak yang berisiko putus sekolah akibat biaya pendidikan, dan ketiga adalah masyarakat yang tidak memahami hukum.
Menurut Dedi, tindakan ini dilakukan karena ia ingin mengembalikan semangat kerja sama di kalangan birokrasi, yang sebelumnya ia lakukan menggunakan dana operasional dan dana pribadi.
"Saya mengusulkan bagaimana jika para PNS ini juga turut berkontribusi dalam menangani berbagai masalah sosial," kata Gubernur Jawa Barat.Novianti Nurulliah, Mochamad Iqbal Maulud)***