Ancaman Kontaminasi Pangan Meningkat, Industri Dorong Penguatan Laboratorium

Di tengah meningkatnya jumlah pengembalian barang (recall), temuan kontaminasi makanan, hingga tuntutan ekspor yang semakin ketat, isu keamanan pangan kembali menjadi fokus utama industri makanan dan minuman.

Tren tersebut salah satu yang dibahas dalam penyelenggaraan SIAL Interfood 2025. Berbagai pelaku usaha berfokus pada pencarian solusi pengujian yang lebih tepat dan sesuai standar internasional.

Salah satu perhatian utama adalah meningkatnya permintaan sektor industri terhadap pengenalan dini pencemaran makanan. Mulai dari logam berat, mikrobiologi, sisa pestisida, hingga uji stabilitas dan umur simpan.

Banyak pelaku usaha menganggap bahwa tantangan keamanan pangan kini jauh lebih rumit dibanding lima tahun lalu, seiring dengan aturan yang semakin ketat dan meningkatnya kesadaran masyarakat.

Masalah Pencemaran Menjadi Tantangan Terbaru bagi Industri

Beberapa tahun terakhir ini, sejumlah negara tujuan ekspor semakin ketat dalam menetapkan ambang batas cemaran (MRL) untuk produk pertanian, rempah-rempah, hingga makanan olahan. Keadaan serupa juga terjadi di pasar lokal, di mana pemerintah memperluas pengawasan terhadap produk makanan dan minuman yang siap dikonsumsi.

"Industri kini tidak lagi cukup hanya mengandalkan pengujian dasar. Kebutuhan saat ini meliputi analisis akurasi tinggi, prediksi masa simpan berbasis metode percepatan, serta pengawasan risiko kontaminasi yang rumit," kata Billy Laurence, Managing Director Alvalab, salah satu laboratorium pengujian yang terlibat dalam SIAL Interfood 2025, kepada awak media.

Berdasarkan pendapat Billy, peningkatan permintaan layanan pengujian terjadi terutama dari sektor rempah-rempah, minyak kelapa sawit, produk olahan, serta komoditas ekspor yang harus memenuhi standar ketat negara tujuan.

Sejumlah pelaku sektor industri menganggap bahwa keberadaan laboratorium dengan standar global masih belum merata di Indonesia. Terutama dalam hal pengujian yang memerlukan presisi tinggi seperti HPLC / LC-MS untuk mendeteksi sisa kimia, uji mikrobiologi lanjutan, serta analisis logam berat dengan sensitivitas tinggi. Selain itu, prediksi umur simpan untuk produk baru danproficiency testingyang merujuk pada standar internasional seperti ISO, FCC, dan ASTA.

Di tengah ketimpangan tersebut, laboratorium yang memiliki kemampuan lengkap menjadi pilihan banyak perusahaan. Pada SIAL Interfood 2025, sejumlah pengunjung mengatakan mencari fasilitas yang mampu mendukung pemenuhan standar nasional maupun ekspor.

Salah satu topik yang muncul dalam diskusi para pelaku usaha adalah penguatan aturan mengenai sisa pestisida pada produk hortikultura dan rempah. Banyak eksportir menyatakan bahwa layanan tersebut masih terbatas dan memerlukan investasi besar dalam teknologi analisis.

Billy menyatakan bahwa fasilitas tersebut rencananya akan menyediakan layanan analisis residu pestisida pada tahun 2025–2026 sebagai tanggapan terhadap permintaan industri yang meningkat secara signifikan.

"Banyak klien kami berfokus pada pasar internasional. Untuk memenuhi aturan FDA atau otoritas Eropa, mereka memerlukan pengujian yang sesuai dengan metode global," tambahnya.

Selain uji laboratorium, industri saat ini mengharuskan transparansi yang lebih baik(traceability) yang lebih tangguh. Sistem LIMS (Laboratory Information Management System) dikenal sebagai salah satu teknologi yang semakin menjadi keharusan karena mampu mempercepat proses analisis, menjaga keaslian dan keamanan data serta memastikan ketaatan terhadap audit.

Tren ini menggambarkan bahwa keamanan pangan tidak hanya terkait dengan hasil uji laboratorium, tetapi juga keterbukaan data dan pertanggungjawaban proses.

"Kami melihat pentingnya memperluas kemampuan layanan serta memperkuat kerja sama internasional agar sektor industri Indonesia mampu bersaing di tingkat global," tegas Billy.

Lebih baru Lebih lama