Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan penggunaan obat diabetes atau pengobatan berupa Peptida Seperti Glukagon (GLP-1) dalam mengatasi kegemukan.
Rekomendasi ini berlandaskan peningkatan angka kegemukan di seluruh dunia.
Berikut jawaban dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI).
Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono menyampaikan, obat tersebut sudah tersedia di Indonesia.
Tidak langsung memberikan rekomendasi dari WHO, Kemenkes memutuskan untuk melakukan penelitian yang mendalam.
Dante menyatakan saat ini, obat ini sedang dalam penelitian penggunaannya.
"GLP-1 sudah tersedia di Indonesia, sudah digunakan, sekarang memasuki tahap berikutnya," ujar Dante setelah membuka HAI Fest 2025 di Jakarta, Senin (8/12/2025).
Selain berfungsi menurunkan kadar gula darah dan berat badan, Dante menyebutkan bahwa obat GLP-1 juga memiliki dampak positif dalam mengurangi kemungkinan terjadinya gangguan jantung pada penderita diabetes di masa depan.
Di tempat terpisah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyampaikan bahwa penelitian yang sedang dilakukan juga mencakup analisis pembiayaan terapi GLP-1 untuk obesitas.
"Pada saat ini kami sedang melakukan pembaruan PNPK terkait obesitas," kata Nadia.
Sejauh ini obat tersebut digunakan pada penderita obesitas yang mengalami kondisi medis tambahan seperti gangguan jantung.
Studi penggunaan GLP-1 sebagai pengobatan untuk obesitas di Indonesia juga melibatkan para pakar dan organisasi dokter.
"Ya, sekarang WHO sudah merekomendasikan obat tersebut. Tapi kami akan meninjau terlebih dahulu. Selama ini penggunaan obat (GLP-1) ditujukan bagi mereka yang mengalami obesitas dengan gejala penyakit lain seperti gangguan jantung dan kesulitan bergerak," ujar Nadia.
Kegemukan Berkaitan dengan Kematian, Ini Perkembangannya di Indonesia
Kegemukan memengaruhi individu di berbagai negara dan terkait dengan 3,7 juta kematian di seluruh dunia pada tahun 2024.
Tanpa langkah-langkah yang keras, jumlah orang yang mengalami obesitas diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2030.
Bagaimana keadaan obesitas di Indonesia? Apakah jumlahnya juga sangat mengkhawatirkan?
Siti Nadia Tarmizi menyatakan bahwa berdasarkan hasil Pemeriksaan Kesehatan Gratis (CKG), obesitas merupakan salah satu kondisi yang sering dialami oleh masyarakat.
Kegemukan terjadi pada lima besar di kalangan orang dewasa dan lansia.
"Karena hasil CKG menunjukkan bahwa obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan yang tergolong lima besar pada kelompok orang dewasa dan lansia," ujar Nadia.
Krisis Kegemukan di Indonesia, Gaya Hidup sebagai Penyebabnya
Kegemukan kini menjadi isu penting di Indonesia akibat pola makan dan kebiasaan hidup yang tidak sehat.
Data Survei Kesehatan Nasional (SKN) 2023 mengungkapkan kecenderungan yang perlu diperhatikan.
Dalam lima tahun terakhir, tingkat obesitas mengalami peningkatan yang cukup besar, yaitu obesitas pada orang dewasa meningkat dari 21,8 persen menjadi 23,4 persen, sedangkan obesitas sentral (lemak perut) naik dari 31 persen menjadi 36,8 persen.
Peningkatan cadangan lemak tubuh, khususnya di area perut, menjadi ancaman kesehatan yang paling serius.
Lemak visceral dapat menyebabkan berbagai kondisi kesehatan seperti diabetes, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, stroke, masalah pernapasan seperti mendengkur dan apnea tidur, serta beberapa bentuk kanker.
Indikator sederhana bisa digunakan untuk mengukur risiko obesitas perut, yaitu lingkar pinggang melebihi 90 cm pada pria dan 80 cm pada wanita.
Ahli gizi klinik, dr. M Ingrid Budiman, Sp.GK., AIFO-K, menekankan bahwa obesitas adalah kondisi medis yang serius dan memerlukan pengelolaan yang menyeluruh.
"Banyak orang menganggap obesitas hanya berkaitan dengan ukuran tubuh, padahal kondisi ini dapat berdampak pada jantung, pernapasan, tingkat gula darah, bahkan kualitas tidur. Oleh karena itu, hal ini bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh," katanya.
Cara Kerja Obat Kencing Manis pada Penderita Obesitas
Pada bulan September 2025, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memasukkan terapi GLP-1 ke dalam Daftar Obat Esensial guna mengatasi diabetes tipe 2 pada kelompok yang memiliki risiko tinggi.
Menggunakan panduan yang baru, WHO memberikan rekomendasi bersyarat sebagai bagian dari pendekatan menyeluruh yang melibatkan pola makan sehat, olahraga rutin, serta bantuan dari tenaga kesehatan yang ahli.
GLP-1 mengarahkan ke area otak yang mengontrol rasa lapar dan konsumsi makanan.
Dosis obat perlu dinaikkan secara bertahap selama 16 hingga 20 minggu hingga mencapai 2,4 mg sekali dalam seminggu agar mengurangi dampak samping pada sistem pencernaan.
(MediaHarianDigital/Rina Ayu/Eko S/Anita K Wardhani)