KORAN - PIKIRAN RAKYAT - Dunia kembali diguncang oleh tragedi kemanusiaan di Gaza. Pada Minggu 3 Agustus 2025, sedikitnya 27 warga Palestina tewas ditembak pasukan Israel ketika tengah mengantre bantuan pangan, sementara enam orang lainnya meninggal karena kelaparan. Bersamaan dengan itu, Menteri Keamanan Nasional Israel Itamar Ben-Gvir memimpin doa di kompleks Masjid Al-Aqsa, sebuah langkah provokatif yang menimbulkan gelombang kemarahan regional.
Tragedi di Gaza ini bukan sekadar rangkaian angka yang terus bertambah. Ia adalah potret nyata penderitaan manusia yang berlangsung di depan mata dunia. Ratusan ribu orang hidup di bawah ancaman kelaparan, dengan 175 orang telah meninggal akibat kekurangan gizi, termasuk 93 anak-anak.
Organisasi kemanusiaan menegaskan bahwa kelaparan di Gaza adalah akibat dari blokade dan pembatasan bantuan yang terus dilakukan Israel meskipun Tel Aviv kerap membantah adanya krisis kelaparan. Fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya: rakyat yang kelaparan menjadi sasaran tembakan ketika hanya ingin mendapatkan sekantong tepung atau fast food.
Dalam situasi seperti ini, tanggung jawab moral dunia internasional kembali diuji. PBB dan lembaga-lembaga kemanusiaan telah berkali-kali mengingatkan bahwa blokade yang memperburuk kelaparan adalah pelanggaran prinsip dasar hukum humaniter internasional. Israel tidak bisa menutup mata terhadap fakta bahwa kebijakan militernya mendorong krisis kemanusiaan ke titik yang belum pernah terjadi sebelumnya. Jika strategi keamanan dijalankan dengan mengorbankan ribuan warga sipil yang kelaparan, maka dunia sedang menyaksikan tragedi kemanusiaan yang bisa menjadi noda sejarah panjang konflik ini.
Kunjungan Ben-Gvir ke Al-Aqsa di hari yang sama memperlihatkan bagaimana dimensi politik dan simbolik konflik ini tak kalah berbahaya dari kekerasan bersenjata di Gaza. Kompleks Al-Aqsa atau Temple Mount adalah titik sensitif yang selama puluhan tahun menjadi barometer ketegangan Palestina-Israel. Status quo yang melarang doa Yahudi di lokasi tersebut bukan sekadar kesepakatan administratif, melainkan simbol keseimbangan rapuh yang menjaga agar api konflik agama tidak berkobar lebih besar. Dengan memilih memimpin doa di sana secara terbuka, Ben-Gvir bukan hanya memprovokasi warga Palestina, tetapi juga memantik kemarahan dunia Arab.
Reaksi keras datang dari Yordania, negara yang menjadi pengelola situs suci tersebut, menyebut kunjungan itu sebagai “provokasi yang tidak bisa diterima.” Langkah Ben-Gvir jelas mengirim sinyal politik ekstrem: seruan untuk menaklukkan Gaza dan mendorong eksodus penduduk Palestina. Pernyataan ini semakin menutup ruang bagi perdamaian, menambah panjang daftar luka dan dendam di kedua pihak.
Krisis ini tidak bisa dilihat hanya sebagai urusan bilateral Israel-Palestina. Dunia memiliki tanggung jawab moral dan politik untuk mencegah bencana kemanusiaan lebih besar. Negara-negara besar, termasuk Amerika Serikat yang selama ini menjadi sekutu utama Israel, harus menggunakan pengaruhnya untuk menekan agar akses bantuan dibuka tanpa syarat. Tidak cukup hanya mengirim pernyataan keprihatinan atau menjanjikan tambahan bantuan yang pada akhirnya tertahan di perbatasan.
Pada saat yang sama, komunitas internasional perlu menghidupkan kembali jalur diplomasi yang telah lama buntu. Krisis Gaza membuktikan bahwa pendekatan militer semata tak akan menghasilkan keamanan jangka panjang, baik bagi Israel maupun Palestina. Blokade, serangan udara, dan penembakan terhadap sipil hanya melahirkan penderitaan baru dan memperdalam kebencian. Ketika kelaparan dijadikan senjata, perdamaian jadi semakin jauh dari jangkauan.
Tajuk ini menegaskan bahwa dunia tidak bisa bersikap netral terhadap penderitaan massal. Laporan mengenai ribuan warga sipil yang tewas, puluhan ribu lainnya kehilangan tempat tinggal, dan anak-anak yang mati kelaparan adalah peringatan keras bahwa krisis ini sudah melampaui batas kemanusiaan.
Ben-Gvir mungkin ingin mengirim pesan politik tentang penaklukan dan kedaulatan, tetapi pesan yang lebih nyata terpampang di Gaza: tubuh-tubuh lemah terkulai karena lapar dan bangunan hancur. Inilah wajah perang yang seharusnya menggugah nurani dunia.
Pada akhirnya, penyelesaian konflik ini membutuhkan keberanian politik dari semua pihak. Dunia harus menuntut penghentian blokade, gencatan senjata yang realistis, dan mekanisme distribusi bantuan yang aman. Selama hal itu belum terjadi, tragedi kemanusiaan di Gaza akan terus berulang, dan sejarah akan mencatat bagaimana dunia memilih untuk bertindak—atau tidak bertindak—di hadapan penderitaan yang begitu nyata.***