
RUBLIK DEPOK -Toko Play Google mengguncang dunia kripto dengan kebijakan baru yang melarang aplikasi dompet kripto yang tidak memenuhi standar regulasi lokal, termasuk di Indonesia. Pengumuman ini, yang dirilis pada 13 Agustus 2025, memicu kekhawatiran di kalangan pengguna dan pengembang aplikasi, terutama karena aturan ini awalnya mencakup dompet non-custodial seperti MetaMask dan Binance, yang populer di kalangan investor kripto. Namun, setelah mendapat kritik keras dari komunitas kripto, Google mengklarifikasi pada 14 Agustus 2025 bahwa dompet non-custodial tidak termasuk dalam larangan ini. "Dompet non-custodial tidak berada dalam cakupan kebijakan Cryptocurrency Exchanges and Software Wallets kami," kata perwakilan Google melalui akun resmi News from Google pada 13 Agustus 2025. Meskipun demikian, kebijakan ini tetap menimbulkan dampak signifikan bagi pengguna dan pengembang di Indonesia, khususnya terkait akses ke aplikasi dompet kripto di Toko Play. Dengan Indonesia sebagai salah satu pasar kripto yang berkembang pesat, langkah ini memicu diskusi tentang masa depan teknologi blockchain dan desentralisasi di tanah air.
Kebijakan Baru Google Play: Apa yang Berubah?
Pada 13 Agustus 2025, Google Play Store mengumumkan kebijakan baru yang mewajibkan semua aplikasi dompet kripto, baik yang disimpan oleh pihak ketiga maupun yang tidak disimpan oleh pihak ketiga, untuk memiliki lisensi resmi sesuai regulasi lokal di lebih dari 15 yurisdiksi, termasuk Indonesia, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Inggris. Di Indonesia, aplikasi harus mematuhi peraturan dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), yang mensyaratkan pendaftaran sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) dan kepatuhan terhadap aturan anti-pencucian uang (AML). "Kebijakan ini bertujuan menciptakan ekosistem yang aman dan sesuai regulasi bagi pengguna," jelas Richard Widmann, Global Head of Strategy for Web3 di Google Cloud, pada 13 Agustus 2025, menegaskan bahwa langkah ini diambil untuk melindungi konsumen dari potensi penipuan.
Namun, aturan ini sempat menimbulkan kebingungan karena mencakup dompet non-custodial yang tidak menyimpan aset pengguna dan biasanya tidak memerlukan lisensi serupa. Hal ini memicu reaksi keras dari komunitas kripto, dengan mantan CEO Twitter Jack Dorsey menyebut pedoman ini "mengerikan" melalui unggahan di X pada 13 Agustus 2025. Menanggapi kritik tersebut, Google segera mengklarifikasi bahwa dompet non-custodial seperti MetaMask dan Trust Wallet dikecualikan dari kebijakan ini. "Kami sedang memperbarui dokumentasi Help Center untuk menjelaskan hal ini," tegas News from Google pada hari yang sama.
Meskipun dompet non-custodial kini lebih aman, aplikasi custodial seperti Binance tetap harus memenuhi persyaratan ketat, termasuk pendaftaran sebagai penyedia layanan aset digital. Di Indonesia, di mana Bappebti telah mengatur 30 bursa kripto hingga Agustus 2025, kebijakan ini dapat membatasi pilihan bagi pengguna yang bergantung pada aplikasi tertentu di Play Store. Pengguna di Depok, misalnya, yang aktif menggunakan aplikasi seperti Tokocrypto, mungkin perlu beralih ke platform lain jika aplikasi tersebut gagal memenuhi standar Google.
Kebijakan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang masa depan inovasi kripto. "Aturan ini bisa membuat pengembang kecil kesulitan bertahan di pasar," kata Andi Pratama, seorang aktivis teknologi blockchain dari Depok, pada 15 Agustus 2025. Ia menambahkan bahwa biaya kepatuhan yang tinggi dapat memaksa pengembang independen beralih ke sideloading, yang berisiko dari sisi keamanan.
Dampak bagi Pengguna dan Pengembang di Indonesia
Di Indonesia, pasar kripto telah berkembang pesat, dengan lebih dari 12 juta investor terdaftar hingga pertengahan 2025, menurut data Bappebti. Kebijakan Google ini berpotensi mengurangi akses pengguna ke aplikasi dompet kripto populer di Play Store, terutama bagi mereka yang tidak terbiasa mengunduh aplikasi dari sumber lain. "Jika aplikasi favorit saya dihapus dari Play Store, saya mungkin harus mencari alternatif seperti situs web resmi atau toko aplikasi lain, tapi ini kurang praktis," kata Rina Sari, seorang investor kripto dari Jakarta, pada 14 Agustus 2025, mencerminkan kekhawatiran banyak pengguna.
Bagi para pengembang, khususnya yang mengelola dompet custodial, kebijakan ini menambah beban kepatuhan. Mereka harus mendaftar sebagai PSE di Kementerian Komunikasi dan Informatika serta mematuhi regulasi Bappebti, yang mencakup audit keamanan dan penerapan prosedur AML/KYC. "Biaya untuk memenuhi standar ini bisa mencapai ratusan juta rupiah, terutama untuk startup kecil," jelas Budi Santoso, seorang pengembang aplikasi blockchain dari Bandung, pada 15 Agustus 2025. Ia khawatir bahwa hanya perusahaan besar seperti Binance atau Tokocrypto yang mampu bertahan di Play Store.
Kasus seperti penghapusan aplikasi MannaBitcoin tanpa pemberitahuan, sebagaimana diungkap oleh pendirinya Adam Simecka pada 13 Agustus 2025, menunjukkan risiko nyata bagi pengembang. "Google menghapus aplikasi kami dari hasil pencarian dan menghilangkan ulasan bintang lima tanpa peringatan," keluh Simecka melalui X, menyoroti kurangnya transparansi dalam proses delisting. Meski Google kemudian menegaskan bahwa kasus ini adalah pengecualian, insiden tersebut memicu kekhawatiran tentang potensi penyalahgunaan kebijakan.
Sementara itu, pengguna di Indonesia yang bergantung pada dompet non-custodial seperti MetaMask dapat bernapas lega, tetapi tetap harus waspada terhadap perubahan kebijakan di masa depan. "Meski non-custodial aman untuk saat ini, Google bisa saja memperluas aturan ini nanti," tegas Andi Pratama pada 15 Agustus 2025, menyarankan pengguna untuk selalu memiliki cadangan akses melalui browser atau perangkat non-Android.
Latar Belakang dan Pengaruh Global
Kebijakan Google ini diyakini dipengaruhi oleh pedoman Financial Action Task Force (FATF) 2021 tentang aset virtual, yang merekomendasikan pengawasan ketat terhadap penyedia layanan aset digital, meskipun tidak mengikat secara hukum. "Google tampaknya bertindak proaktif untuk menghindari risiko hukum," kata Landon Manning, jurnalis BeInCrypto, pada 14 Agustus 2025, merujuk pada kasus Tornado Cash yang melibatkan pengembang Roman Storm. Meskipun Storm dibebaskan dari tuduhan berat, putusan parsialnya pada 2025 memicu kekhawatiran bahwa perangkat lunak kripto dapat dianggap bertanggung jawab atas aktivitas ilegal.
Di tingkat global, kebijakan ini mencerminkan tren "regulasi melalui penegakan komersial," di mana perusahaan teknologi besar seperti Google menggunakan kendali mereka atas distribusi aplikasi untuk menerapkan aturan yang lebih ketat daripada hukum yang ada. "Ini menunjukkan betapa besar pengaruh perusahaan teknologi terhadap ekosistem kripto," kata Jacob Wittman, seorang pengacara kripto, pada 13 Agustus 2025, menyebut kebijakan ini sebagai "nothing-burger" yang tetap mengkhawatirkan karena kontrol distribusi Google.
Di Indonesia, di mana adopsi kripto meningkat pesat, kebijakan ini dapat mendorong pengguna untuk mencari alternatif seperti sideloading atau menggunakan perangkat non-Android, seperti iPhone atau PC. Namun, sideloading membawa risiko keamanan, seperti malware, yang dapat membahayakan aset digital pengguna. "Pengguna harus lebih berhati-hati dan memverifikasi sumber aplikasi," kata Budi Santoso pada 15 Agustus 2025, menekankan pentingnya edukasi keamanan digital.
Masa Depan Kripto di Indonesia
Kebijakan Google ini menandai babak baru dalam regulasi kripto di dunia aplikasi mobile, terutama di Indonesia, di mana ekosistem kripto masih berkembang. Meskipun dompet non-custodial saat ini dikecualikan, ketidakpastian mengenai kebijakan di masa depan tetap ada. "Kita perlu memantau bagaimana Google akan menerapkan aturan ini ke depannya," kata Rina Sari pada 14 Agustus 2025, menyuarakan harapan agar inovasi kripto tidak terhambat oleh regulasi yang berlebihan.
Di sisi lain, langkah Google juga dapat mendorong pengembang lokal untuk lebih aktif berkolaborasi dengan regulator seperti Bappebti guna memastikan kepatuhan. "Ini bisa menjadi peluang bagi pengembang Indonesia untuk menciptakan solusi yang sesuai regulasi tanpa mengorbankan desentralisasi," kata Budi Santoso pada 15 Agustus 2025, optimistis bahwa industri kripto lokal dapat beradaptasi.
Sementara itu, pengguna disarankan untuk memanfaatkan opsi alternatif seperti browser berbasis Web3 atau toko aplikasi independen untuk mengakses dompet kripto favorit mereka. Dengan pasar kripto Indonesia yang terus tumbuh, kebijakan ini menjadi pengingat bahwa desentralisasi tetap menghadapi tantangan dari dominasi raksasa teknologi. "Kita harus terus mendukung inovasi sambil mematuhi aturan yang ada," tegas Andi Pratama pada 15 Agustus 2025, menyerukan keseimbangan antara regulasi dan kebebasan teknologi.